NEWS:

  • MPLS Ramah, SMA Islam Bunga Bangsa merespon dengan Program “ NEW STATION” yang edukatif dan kreatif
  • Jasa Raharja Raih Penghargaan dari ASEAN Risk Awards 2025, Bukti Pentingnya Tata Kelola Risiko di Sektor Publik
  • Cegah Radikalisme dan Intoleransi, Wakapolda Kaltim Pimpin Pembinaan Personel Polri
  • Jasa Raharja Perkuat Budaya Sadar Risiko di Kalangan Internal lewat Risk Management Update 2025
  • Jasa Raharja Dampingi Wapres Gibran Tinjau Penanganan Korban Kecelakaan KM Tunu Pratama Jaya di Pelabuhan Ketapang Jawa Timur


Oleh: Harihanto1

561Harihanto. Guru Besar Lingkungan, Pembangunan, dan Perubahan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas MulawarmanSejak tahun 1987 setiap tanggal 11 Juli secara global diperingati sebagai Hari Kependudukan/ Populasi Sedunia. Hari ini ditetapkan oleh Badan Pengurus Program Pembangunan Dunia (United Nation Development Pembangunan  Dunia/ UNDP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna menyadarkan penduduk dunia terhadap isu/masalah Kependudukan di dalam kaitannya dengan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (rri.co.id, diakses tanggal 12 Juli 2025). Tanggal tersebut merupakan tanggal dimana diperkirakan bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai lima (5) milyar; sehingga dikenal juga sebagai “hari Lima Milyar”. Akan tetapi peringatan yang pertama hari ini secara resmi baru diadakan pada tahun 1990; dan selanjutnya diperingati setiap tahun, setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 45/216, tertanggal 19 Desember 1990. Sebagai bentuk kesadaran seperti yang dimaksudkan oleh UNDP yang disebut di atas, sejak dibentuknya Program Pendidikan Magister Ilmu Lingkungan di Universitas Mulawarman tahun 2003-an kami menyajikan Mata Kuliah “Penduduk, Lingkungan, dan Pembangunan”.

Saat ini, setelah 38 tahun sejak 1987, jumlah penduduk dunia sudah menjadi delapan milyar lebih (bertambah tiga milyar lebih). Walau belum ada kesimpulan yang pasti, apakah jumlah penduduk saat ini sudah terlalu banyak? namun secara teoritik jelas bahwa jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dapat mempercepat kerusakan lingkungan hidup. Tanda-tanda mengenai hal ini telah terjadi sejak 1970-an, bahkan sebelumnya, misalnya dampak negatif dari DDT, Freon (CFC), pembakaran Bahan Bakar Fosil, dan sebagainya. Ditemukan dan digunakannya bahan-bahan ini untuk memenuhi Kebutuhan?, Keinginan? atau Nafsu manusia? ternyata telah merusak lingkungan – berkurang, bahkan hilang nya Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim. Musim Semi yang semakin Sunyi akibat berkurang dan bahkan musnahnya  jenis burung tertentu akibat penggunaan DDT seperti yang disinyalir oleh Carson (1962) memang nyata. “Bumi Semakin Panas” seperti judul film (1973) yang antara lain dibintangi oleh  Suzzanna itu semakin menjadi kenyataan (ha, ha).  Hal ini pula yang mendorong Barbara Ward dan Rene Dubos (1972) menulis laporan tidak resmi berjudul Only One Earth kepada PBB di dalam Konferensi Pertama Tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, yang mengingatkan agar manusia menjaga dan merawat planet bumi yang kecil ini.

Karena selain mempunyai kebutuhan (yang dapat bertambah jenis dan jumlahnya), manusia juga mempunyai keinginan (yang juga dapat berkembang dari waktu ke waktu), bahkan mempunyai nafsu; maka manusia merupakan makhluk bumi yang paling banyak mempunyai kepentingan. celakanya di dalam memenuhi semua kepentingannya itu, disadari ataupun tidak, tindakan manusia sering menimbulkan masalah, termasuk masalah terhadap lingkungan hidup, karena manusia hidup di lingkungan alam. Secara langsung, di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia sangat tergantung pada lingkungan (termasuk SDA), sebagai tempat hidup (ruang) dan sebagai bahan baku, serta energi. Sebagai ruang, luas bumi tidak pernah bertambah. Walau teknologi yang dibuat oleh manusia dapat membantunya membuat ruang hidup ke atas (vertikal), namun sampai seberapa tinggi tempat hidup vertikal itu dapat dibuat? Apakah tidak terbatas? Demikian pula apakah teknologi itu akan berkembang tanpa batas? Bahkan jika dilihat dari perspektif keyakinan (Agama Islam), terdapat beberapa hadist yang menyatakan bahwa “berlomba-lomba meninggikan bangunan adalah salah satu tanda akhir zaman atau kiamat”.  Penganut paham “Gemah Ripah” (Cornucopian Thesis)-pun, seperti halnya penganut Paham Titik Batas (Limits Thesis) menyatakan bahwa “semua pertumbuhan (termasuk pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, ada batasnya). Satu-satunya perbedaan antara keduanya hanyalah tentang posisi titik batas pertumbuhan itu. Paham titik batas menyatakan bahwa batas pertumbuhan itu sudah hampir tercapai. Sedangkan paham yang optimis (Cornucopian Thesis) menyatakan bahwa titik batas pertumbuhan itu masih jauh. Lebih jauh, paham titik batas menyatakan bahwa apabila batas pertumbuhan tersebut terlalu didekati akan terjadi lonjakan kematian penduduk, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dan penduduk harus dihentikan.  Menurut paham ini ada dua cara untuk menjamin kecukupan yang berkelanjutan, yakni: (1) mengoptimalkan pemanfaatan SDA, dan (2) meminimalkan jumlah manusia yang dilahirkan. Jadi bukan justru mengurusi penduduk yang kemampuan reproduksi kurang seperti Inti tema dari peringatan Hari Kependudukan tahun ini.      

Demikian pula SDA, stoknya terbatas, dan umumnya dapat habis, kecuali matahari dan angin. SDA terbarukan-pun, hutan alam misalnya, saat ini sudah semakin sedikit, karena manusia menebangnya melebihi kemampuannya untuk pulih kembali (aturan yang seharusnya diterapkan untuk memanfaatkan SDA terbarukan, seperti yang pernah saya tulis tentang TPTI itu). Akibatnya terjadilah kerusakan lingkungan, yakni “berubahnya lingkungan (termasuk SDA) sehingga tidak dapat pulih”. Secara tidak langsung, di dalam memproduksi barang-barang untuk memenuhi Kepentingannya (gabungan dari Kebutuhan, Keinginan, dan Nafsu), manusia menghasilkan limbah dan menghasilkan sampah di dalam mengkonsumsinya. Limbah dan sampah ini mau tidak mau masuk ke lingkungan, yang kemampuannya untuk mengasimilasi limbah dan sampah itu terbatas. Akibatnya terjadilah apa yang disebut pencemaran lingkungan, yakni berubahnya lingkungan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya secara alami.  Celakanya keadaan seperti ini pernah menjadi ukuran kemakmuran masyarakat di negara-negara maju, yang oleh boulding (di dalam Korten, 1990) diistilahkan sebagai “Ekonomi Koboi”. Celaknya lagi, visi ekonomi seperti itu saat ini pada gilirannya diterapkan oleh negara-negara sedang berkembang, dengan ciri: menggali SDA yang paling mudah tersedia di lingkungan, mengubahnya menjadi produk apa saja untuk memenuhi kebutuhan (dan bahkan Keinginan dan Nafsu). Sebaliknya benda yang sudah tidak berguna (limbah dan sampah) dibuang begitu saja ke Lingkungan untuk dibersihkan oleh alam (yang kemampuan asimilasinya terbatas).  Semakin cepat SDA ditambang/diambil, diproses, dan dibuang bekasnya, dianggap semakin makmur.  Akibat pandangan yang demikian, lingkungan di negara-negara yang sekarang tergolong Sebagai negara maju mulai rusak dan tercemar, SDA mereka terkuras, dan hal itu mulai disadari oleh pemerintahnya pada 1970-an itu. Oleh karena itu ada seorang Menteri Indonesia yang menyatakan bahwa negara-negara yang sekarang tergolong negara maju, dahulu juga mengeksploitasi besar-besaran SDA mereka. Namun pernyataan ini dapat dipertanyakan: “setelah kita mengetahui bahwa tindakan negara-negara maju itu telah merusak lingkungannya, apakah kita akan ikut melakukannya? Negara-negara maju dahulu mengeksploitasi SDA-nya secara besar-besaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi (dari berbagai sumber); dengan mengabaikan dampak lingkungannya, salah satunya adalah akibat Keterbatasan Pemahaman terhadap Dampak Lingkungan, karena merekalah yang pertama kali melakukannya.  Jadi hal ini seharusnya menjadi Pelajaran Penting bagi negara-negara Sedang Berkembang. Adapun negara-negara maju itu sekarang berupaya memperbaiki lingkungannya yang rusak akibat tindakannya dulu, antara lain: (1) mengendalikan dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), (2) memulihkan lahan dan merehabilitasi lingkungan, (3) meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat, dan (4) menjalin kerjasama internasional mengatasi masalah lingkungan. Mereka mulai beralih ke praktek-praktek yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan dampak lingkungan dari kegiatan ekonominya. Keberlanjutan diperlukan karena menurut teori Kesamaan Hak Antar Generasi, generasi yang akan datang, anak cucu-cucu kita, mempunyai hak yang sama atas Kesejahteraan, minimal sama dengan kesejahteraan yang kita nikmati sekarang. Oleh karena itu generasi sekarang, kita, mempunyai tanggung jawab moral agar haknya generasi yang akan datang itu dapat terwujud.                

Kembali kepada penduduk bumi (manusia) sebagai sumber dari segala Masalah beserta hal yang melatar-belakanginya yang diuraikan di atas, walaupun jumlah/kuantitasnya tidak secara langsung mempengaruhi Lingkunganya, namun bisa jadi kualitasnya yang mempengaruhi Lingkungan. Salah satu indikator kualitas manusia adalah perilakunya, seperti yang pernah saya tulis di media massa lokal berkaitan dengan Pandemi Corona, yang konon sumber dan inang Virusnya adalah Kelelawar Liar yang dikonsumsi manusia di China sebagai negara yang saat itu berpenduduk paling banyak di Dunia. Ini artinya semakin banyak penduduk, semakin banyak macam perilakunya, termasuk yang mengkonsumsi kelelawar liar tersebut, entah karena iseng atau kekurangan makanan. Jadi semakin banyak penduduk, semakin banyak masalah, yang mungkin tidak bersumber dari jumlahnya, melainkan dari perilaku/kualitasnya. 

Sayangnya tema Hari Kependudukan Dunia tahun ini justru berfokus pada penduduk bumi yang sudah ada, dengan tema “Empowering Young People to Create the Families They Want In a Fair and Hopeful World”; bukan berfokus pada pengendalian Pertumbuhan Jumlah Penduduk. Hal ini perlu dipertanyakan; kesimpulan (sementara) saya adalah bahwa Lembaga internasional pun tidak selamanya kredibel, sudah banyak contoh yang mendukung kesimpulan saya ini, yang terakhir adalah ketidakmampuan PBB menangani perang Rusia – Ukraina, dan yang terakhir perang Israel – Hamas, Israel – Iran. Saya simpulkan demikian karena hal yang melatar-belakangi Tema tersebut menurut PBB adalah “menurunnya Angka Kelahiran Global” (berdasarkan Laporan Dana Kependudukan Dunia/NFPA)  (Detiknews, 11 Juli 2025). Hal ini dianggap sebagai peringatan “runtuhnya populasi”. Dengan “kurangnya kemampuan reproduksi banyak orang, terutama kaum muda” sebagai penyebabnya. Hal ini dianggap sebagai masalah kependudukan yang sesungguhnya saat ini; dengan penyebab utamanya: (1) ketidakmampuan ekonomi, (2) ketidaksetaraan gender, (3) keterbatasan layanan Kesehatan dan Pendidikan, dan (4) gangguan  iklim. Nah alasan-alasan ini yang harus kita dan akan saya bahas dan diskusikan di sini. Alasan pertama, ketidakmampuan ekonomi; ya justru itulah, kalau merasa tidak mampu secara ekonomi ya jangan ingin banyak punya anak ataupun ingin punya anak (bagi yang belum punya anak). Ya memang ketidakmampuan seseorang secara ekonomi bisa jadi akibat kebijakan pemerintah, kebijakan/perilaku pejabat pemerintahnya, bahkan orang lain, karena dapat dipastikan bahwa tidak ada seorangpun yang ingin menjadi orang miskin. Padahal, ini merupakan hasil riset yang dilakukan terhadap 14 ribu orang di 14 negara (Detiknews, 11 Juli 2025).  Tetapi di dalam hal ini kan tidak disebut secara eksplisit seperti itu, yaitu bahwa ketidakmampuan ekonomi mereka akibat kebijakan pemerintah negara yang bersangkutan. Kalau secara eksplisit disebut akibat kebijakan pemerintah, maka pemerintahnya yang harus dibenahi. Tetapi kalau ketidakmampuan ekonomi itu bersifat individual, maka individu yang bersangkutanlah yang harus mencari solusinya, termasuk jangan punya banyak anak atau jangan punya anak, dari pada punya anak tapi hidupnya sengsara. Kalaupun ada peran pemerintah yang dituntut di sini adalah bahwa pemerintah negara yang bersangkutan harus membenahi perekonomian rakyatnya, yang berarti memerlukan waktu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap Kemampuan Reproduksi alias Kesuburan/Fekunditas rakyatnya. Sebaliknya, di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan pertumbuhan penduduknya minus karena kaum wanitanya tidak ingin punya anak dengan alasan: (1) demi karier, (2) biaya hidup tinggi, dan (3) kebebasan pribadi. Demi karier, karena Wanita di negara-negara maju lebih mengejar karir. Biaya hidup tinggi karena di negara-negara maju mempunyai anak harus disekolahkan sebagai investasi masa depan. Di sana berlaku istilah “Kekayaan mengalir dari orang tua ke anak”. Kebebasan pribadi, karena wanita di negara-negara maju, anak dianggap mengganggu.   

Alasan kedua, yakni Ketidaksetaraan Gender, merupakan faktor eksternal yang berada di luar diri individu. Jadi alasan ini memang menjadi domainnya pemerintah dan Masyarakat. Dengan Demikian pemerintah dan masyarakat harus menanganinya. Demikian pula alasan ketiga, yakni keterbatasan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Khusus untuk layanan pendidikan, di Indonesia baru saja ada fenomena yang menarik pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 yang lalu, di mana calon yang mengusung program menyekolahkan anak penduduk miskin sampai menjadi sarjana justru kalah. Ditengarai penyebabnya karena masih banyak rakyat/penduduk miskin yang pragmatis, yang cenderung memilih calon atau jago dari pihak yang telah memberi bantuan langsung/pragmatis, dan dapat segera dinikmati, bukan investasi jangka panjang.

Yang menarik adalah alasan keempat, yaitu Gangguan Iklim. Menarik karena gangguan iklim itu sebenarnya merupakan salah satu akibat atau dampak negatif langsung dari jumlah penduduk bumi yang semakin banyak itu, maupun akibat dari kualitas atau perilakunya yang semakin bermacam-macam. Fenomenanya kan yang dikenal sebagai Perubahan Iklim yang saat ini menjadi isu aktual itu. Jadi kalau ada penduduk yang tidak mampu mempunyai anak, dilihat dari kepentingan lingkungan, khususnya terkait dengan iklim, mestinya harus dilihat sebagai suatu keadaan yang baik.

1Harihanto- Dosen Pengampu Mata Kuliah “Penduduk, Lingkungan, dan Pembangunan” pada Program Pendidikan Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Mulawarman dan Dewan Pengawas Koalisi Kependudukan Indonesia, Kaltim.

-Ditulis di dalam rangka memperingati hari Kependudukan Sedunia, 11 Juli 2025.

Warta Kaltim @2025-Jul



WARTA TERKAIT

WARTA UPDATE

« »