Oleh: Harihanto
Guru Besar Fisipol Unmul
Ya, judul tulisan ini sengaja saya beri tanda tanya, karena di tengah hiruk-pikuknya perpolitikan dan penyelenggaraan pemerintahan di tanah air akhir-akhir ini, ada sebagian orang (rakyat) yang mempertanyakan “rasa malu” dan “harga diri” sejumlah politikus dan penyelenggara negara. Antara lain mereka menyatakan “tidak punya rasa malu, urat kemaluannya sudah putus”, “tidak punya harga diri”. Ya, mereka mengatakan begitu karena rupanya berpegang pada definisi baku dari “rasa malu” dan “harga diri” itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “malu” adalah “merasa tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang kurang baik, kurang benar …..”. Menurut ajaran agama Islam, rasa malu seharusnya dimiliki oleh setiap orang, karena rasa malu pada diri seseorang merupakan salah satu pertanda bahwa orang tersebut beriman. Sedangkan definisi baku dari “harga diri” menurut KBBI adalah “kesadaran pada diri seseorang tentang berapa besar nilai yang diberikan kepada dirinya sendiri” atau “pandangan holistik dari seorang individu tentang dirinya sendiri”. Istilah/konsep ini juga dapat disamakan dengan “martabat” (bukan martabak) yang menunjukkan tingkat harkat kemanusiaan dari seseorang.
Sedangkan pihak yang dikatakan “tidak punya rasa malu, urat kemaluannya sudah putus” dan “tidak punya harga diri” tadi rupanyan mempunyai definisi sendiri yang berbeda tentang “rasa malu” dan “harga diri”. Mereka bukannya tidak mempunyai “rasa malu” dan tidak mempunyai “harga diri”, mereka tetap mempunyai rasa malu dan harga diri dengan definisi menurut mereka sendiri. Kalaupun tidak mendefinisikan sendiri konsep rasa malu dan harga diri itu, mungkin mereka mempunyai dalih untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu yang menurut ukuran orang lain, ukuran yang wajar, bahkan ukuran baku tergolong, “tidak mempunyai rasa malu” dan “harga diri” tadi. Mungkin mereka menyalahkan orang yang menciptakan istilah “kemaluan” dan menanyakan “kena apa yang disebut kemaluan kok hanya yang itu?’ (kalau terlihat oleh orang lain). Nah berdasarkan arti istilah kemaluan seperti itu mereka berdalih mereka tidak merasa malu, karena saat berbuat sesuatu yang menurut ukuran umum memalukan itu mereka “memakai celana”, sehingga kemaluannya tidak terlihat oleh orang lain, dan karena itu mereka tidak merasa malu. Begitulah kira-kira dalih mereka. Jadi menurut mereka yang salah adalah orang yang membuat istilah “kemaluan” itu.
Begitu pula halnya tentang “harga diri”, bukannya para pihak yang dikatakan tidak mempunyai harga diri tadi betul-betul tidak mempunyai harga diri. Rupanya mereka memberikan nilai atau harga pada dirinya dengan do it. Dengan dalih “namanya juga harga, harga itu kan dinyatakan dengan uang?”, karena menurut KBBI pula “harga” adalah nilai suatu benda yang diukur dengan uang”. Jadi seperti halnya orang yang tidak mempunyai rasa malu yang menyalahkan orang yang membuat istilah “kemaluan” itu, orang yang tidak mempunyai “harga diri” ini juga menyalahkan orang yang membuat istilah “harga diri”.
Warta Kaltim @2024-Har & Jul