NEWS:

  • Arus Mudik dan Balik Lebaran 2025 Sukses, PT Jasa Raharja Kanwil Kalimantan Timur Gelar Apel Penutupan PAM Lebaran 2025
  • Angka Kecelakaan dan Fatalitas Turun Drastis, Presiden Prabowo Subianto Apresiasi Suksesnya Pelaksanaan Arus Mudik dan Balik Idulfitri 2025
  • Kapolri Apresiasi Komitmen PT Jasa Raharja dan Seluruh Stakeholders terkait atas Sinergi dan Kolaborasi dalam Wujudkan Arus Mudik dan Balik Idulfitri 2025 yang Lancar dan Berkeselamatan
  • Pastikan Arus Balik Idulfitri 2025 yang Aman, Nyaman, dan Berkeselamatan, Kapolri dan Para Stakeholder Operasi Ketupat 2025 Resmikan Pelaksanaan One Way Nasional di KM 414 Kalikangkung
  • Direktur Utama PT Jasa Raharja Dampingi Kapolri Meninjau Rest Area KM 456A dan Stasiun Tawang, Pastikan Arus Balik Aman dan Berkeselamatan

Harianto3Belakangan beredar berita di media massa dan media sosial tentang laut di Kabupaten Tengerang, Provinsi Banten  yang dikapling, dipagari, bahkan disertifikatkan oleh pihak tertentu (pengusaha)?  Hal ini diketahui berawal dari adanya laporan masyarakat setempat kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten (Kompas.com., 2025). Masyarakat setempat melaporkan hal ini tentu dengan alasan tertentu. Alasan  yang diduga dan kemungkinan menjadi alasan yang sesungguhnya adalah: (1) pagar laut itu awalnya tidak ada, dan (2) mereka sendiri sebagai warga setempat, yang sebagian merupakan nelayan laut tidak pernah memagari laut (walau menurut DPK Provinsi Banten pada awal ditemukannya pagar itu pada pertengahan Agustus 2024 tidak ada keluhan dari masyarakat  (Kompas.com., 2025) dan ada Kelompok Nelayan bernama Jaringan Rakyat Pantura (JPR yang mengklaim sebagai pihak membangun pagar tersebut, namun sesuai perkembangan terakhir nampaknya hal ini tidak benar. Di dalam hal ini rupanya DKP Provinsi Banten membedakan antara “laporan masyarakat” dan “keluhan masyarakat”?  

Terlepas dari siapa yang mengapling, memagari, dan mensertifikatkan laut yang disebut di atas (kabarnya ada dua perusahaan yang mengaku mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB) (tirto.id., 22 Januari 2025) dan satu nama pengusaha property yang dikaitkan (Tempo, 27 Januari 2025); pengaplingan, pemagaran, dan mensertifikatan laut yang disebut di atas dapat dilihat dari berbagai perspektif  atau sudut pandang. Salah satunya adalah perspektif Pemenuhan Kebutuhan Manusia (Humman Needs), khususnya Kebutuhan Pokok/Kebutuhan Primer/Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs). Jika laut yang dikapling tersebut akan dijadikan perumahan dan diperdagangkan oleh pengusaha yang mengaplingnya, dapat dilihat dari dua sisi juga, yakni sisi pengusaha/penjual/pedagang dan sisi pembeli/konsumen. Dilihat dari sisi pengusahanya, kegiatan di atas jelas dilakukan untuk mencari penghasilan di dalam bentuk “keuntungan” (sesuai dengan definisi “berusaha”) di dalam rangka memenuhi kebutuhann hidupnya. Sebagai makhluk hidup, seperti halnya binatang, si pengusaha mempunyai dua kebutuhan pokok, yakni makan dan tempat tinggal/tempat berlindung (shelter). Disebut kebutuhan dasar manusia (“Butsarman”) karena jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka manusia yang bersangkutan akan merasa terganggu, yakni lapar bahkan akan mati. Pertanyannya kapan matinya?, jawabanya ada dua – dari sudut pandang sain dan keyakinan/agama. Dari sudut pandang sain jawabannya adalah “tergantung pada ketahanan tubuhnya”. Dari sudut pandang keyakinan/agama jawabannya adalah “tergantung pada takdir”. Demikian juga jika kebutuhan akan tempat berlindung tidak terpenuhi manusia yang bersangkutan akan merasa terganggu, merasa tidak aman, takut kehujanan, takut kepanasan, takut diserang binatang, dan sebagainya. Pada zaman Nabi Adam dan Siti Hawa (manusia pertama), tempat berlindung ini masih bersifat alami dan apa adanya, misalnya gua. Pada zaman modern ini tempat berlindung itu disebut rumah.

Selain dua kebutuhan dasar yang sama dengan kebutuhan binatang, si pengusaha sebagai manusia juga mempunyai perbedaan dengan binatang, yakni mempunyai “rasa malu”; walau belakangan banyak berita di media massa dan media sosial yang menyebutkan bahwa semakin banyak orang Indonesia, khususnya pejabat yang tidak punya rasa malu (baca tulisan saya di Warta Kaltim, 03 Oktober 2024). Sedangkan binatang tidak punya rasa malu. Supaya tidak malu, manusia memerlukan busana untuk menutupi sumber rasa malu itu, yakni alat kelamin atau aurat, supaya tidak terlihat oleh orang lain, dan timbul rasa malu pada dirinya.

Sesuai dengan perjalanan waktu ternyata kebutuhan manusia dapat dan telah berkembang. Namun kebutuhan ini tidak dapat dikategorikan sebagai Kebutuhan Primer, melainkan sebagai Kebutuhan Sekunder, dan tidak mutlak untuk dipenuhi, hanya sebagai pelengkap. Kebutuhan sekunder ini biasanya timbul setelah kebutuhan primernya terpenuhi, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pada zaman modern ini contoh kebutuhan sekunder itu adalah Pendidikan. Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi, manusia yang bersangkutan tidak terlalu terganggu, dan masih dapat bertahan hidup.

Berbeda dengan binatang, selain mempunyai kebutuhan, manusia juga mempunyai “Keinginan”. Berbeda dengan kebutuhan yang bersifat umum dan obyektif, keinginan ini bersifat subyektif, berbeda menurut subyeknya, bebeda menurut individunya. Secara teoretik jika keinginan seseorang tidak terpenuhi, kelangsungan hidupnya tidak terganggu. Oleh karena itu upaya untuk memenuhi keinginan ini mestinya tidak perlu dipaksakan, melainkan harus memperhatikan faktor-faktor lain yang terkait, terutama Faktor Kendala (constraining factors). Dengan demikian dapat dicapai suatu keadaan hidup yang optimal, bukan maksimal. Faktor-faktor yang terkait dan harus dperhatikan itu antara lain: Lingkungan Hidup, dan penduduk/manusia lainnya. Lingkunga Hidup harus diperhatikan dan dipertimbangkan karena manusia hidup di Lingkungan Alam yang Daya Dukung dan Daya Tampungnya terbatas. Manusia hidup di Bumi yang luasnya terbatas, tidak bisa bertambah, demikian pula Sumber Daya Alam (SDA)-nya. Kemampuannya untuk menampung, menetralisir/mengasimilasi Limbah dan Sampah (hasil produksi dan konsumsi barang-barang oleh manusia) terbatas. Demikian pula kemampuannya untuk pulih kembali jika mendapat gangguan. Upaya pemenuhan Kebutuhan dan Keinginan manusia harus memperhatikan Keseimbangan Lingkungan, karena pada dasarnya, secara Alami lingkungan memiliki Keseimbangan. Semakin banyak lingkungan diubah/diganggu, semakin berubah keseimbangannya. Jika keseimbangan lingkunga terganggu terjadilah masalah – longsor, banjir, suhu bumi meningkat, populasi hama meledak, dan sebagainya. Penduduk/manusia lainnya harus diperhatikan dan dipertimbangkan, karena mereka juga mempunyai hak yang sama atas kesejahteraan, Demikian pula generasi yang akan datang/anak-cucu kita, minimal  sama dengan kesejahteraan yang dinikmati oleh generasi atau kita nikmati sekarang (Teori Kesamaan Hak Antar Generasi). Konsekuensinya, generasi sekarang mempunyai Tanggung-Jawab Moral agar haknya generasi yang akan datang itu dapat terwujud. Oleh karena itu Pembangunan harus Berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan dapat berlanjut jika kita mewariskan Lingkungan yang baik, menyisakan SDA tak terbarukan, mengeksploitasi SDA terbarukan tidak melebih kemampuannya untuk pulih, dan seterusnya.

Celakanya selain mempunyai “Kebutuhan” dan “Keinginan”, berbeda dengan makhluk hidup lainnya, manusia juga mempunyai mempunyai “Nafsu”. Saya katakan “celakanya”, karena yang namanya “Nafsu” itu cenderung berkonotasi “negatif”. Walau konon nafsu itu tidak selalu buruk, ada juga nafsu yang baik, karena definisi umum Nafsu adalah “dorongan atau kecenderungan hati yang kuat”. Namun nafsu yg dimaksud di dalam tulisan ini adalah yang berkonotasi negatif. Nafsu demikian tentu harus dikendalikan, karena selain dapat merugikan diri sendiri juga dapat merugikan orang lain yang kepentingannya harus diperhatikan seperti yang telah disebut di atas. Berkaitan dengan Lingkungan Hidup misalnya, setiap orang (termasuk orang lain) berhak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia). Jadi jika “pengaplingan, pemagaran, dan pensetifikatan laut” di Tangerang itu dikaitkan dengan “Kebutuhan”, “Keinginan”, dan “Nafsu”, kasus tersebut lebih dekat dengan “Nafsu”. 

Warta Kaltim @2025-Jul



WARTA TERKAIT

WARTA UPDATE

« »