Oleh: Harihanto*
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya yang berjudul “Mengapling, Memagari, dan Mensertifikatkan Laut …..” di “Warta Kaltim” edisi 10 April 2025. Selama ini Laut, seperti halnya Sungai, Padang Rumput, Hutan, ikan di laut bebas, dan semacamnya dikenal sebagai Sumber Daya Alam (SDA) Milik Umum (Common Property/Shared Resource). Memang, secara alami semua SDA yang ada di bumi ini awalnya adalah milik umum, milik semua manusia di bumi, setiap manusia bebas mengaksesnya, bahkan hanya memburu dan mengumpulkannya (ingat masa manusia sebagai “pemburu dan pengumpul”). Namun seiring dengan semakin banyaknya manusia (penduduk bumi), maka penguasaan dan pemanfaatan SDA perlu diatur, sehingga terjadi keteraturan, ketertiban, keadilan, dan keberlanjutan. Pembaca mungkin bertanya “siapa yang harus mengatur?”. Setelah dikenal konsep “negara” dan “pemerintahan” , pemerintah di masing-masing negara terkait lah yang harus mengatur demi tercapainya tujuan yang disebut di atas. Pada tataran global masyarakat internasional lah yang mengaturnya. Saat ini misalnya, terdapat perjanjian internasional yang memuat prinsip Kedaulatan Negara atas SDA – setiap negara memiliki hak penuh dan berdaulat atas SDA di wilayahnya, negara memiliki hak mengatur, mengelola, memanfaatkan SDA mereka sesuai kepentingan nasionalnya (dari berbagai sumber). Walau keberadaan dan konsep SDA Milik Umum telah ada sebelumnya, namun baru tahun 1968 konsep ini dipopulerkan oleh Hardin di dalam bukunya “The Tragedy of The Commons” yang menyoroti bahwa kepentingan pribadi dapat merusak dan menyebabkan habisnya SDA milik umum yang seharusnya dikelola bersama (dari berbagai sumber). Jadi Hardin-lah yang menyadari perlu dan pentingnya pengelolaan SDA milik umum demi tercapainya keadaan yang disebut di atas.
Selama ini, terhadap SDA Milik Umum, siapa saja (individu maupun korporasi) bebas mengaksesnya, tanpa harus memikirkan akibatnya, siapa yang harus bertanggung-jawab jika rusak, dan sebagainya. Akibatnya, SDA seperti ini cepat mengalami kerusakan. Itu pulalah yang terjadi di beberapa laut di tanah air akhir-akhir ini, khususnya di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dimana laut di kavling, dipagari, bahkan disertifikatkan oleh dua Perusahaan di dalam bentuk Sertifikat Hak Guna Bangunan/SHGB dan Sertifikat Hak Milik/SHM (Tempo.co; 22 Januari 2025). Sesuai dengan sifat SDA milik umum seperti yang disebutkan di atas, pada kasus Pagar Laut di Tangerang ini masalahnya adalah: (1) awalnya pelakunya bersifat misterius, tidak ada informasi dan kejelasan siapa pelakunya, (2) adanya sertifikat (SHGB dan SHM) atas laut tersebut dinilai tidak sah (karena belum ada Dasar Hukumnya?) (dari berbagai sumber), dan (3) dianggap mengganggu nelayan (nusantara tv, https://www.youtube.com/watch?v=cuu-E14YZKQ, diakses 23 April 2025).
Selain kasus di Kabupaten Tangerang, pengaplingan laut ternyata juga telah terjadi di sejumlah tempat lain, seperti Bekasi, Sumenep, Jakarta, dan Sidoarjo (dari berbagai sumber). Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan saat ini terdapat 196 kasus ruang laut yang serupa dengan kasus di Tangerang itu (Tempo, 28 Januari 2025). Ini merupakan bukti bahwa orang bebas mengakses laut karena sampai saat ini laut masih dikenal sebagai SDA milik umum. Orang bebas mengaksesnya sampai batas kemampuan maksimumnya (tanpa memperhatikan faktor lain), bukan optimum (dengan memperhatikan faktor lain - hak orang lain, hak generasi yang akan datang, kelestarian dan keberlanjutan fungsinya, dan lain-lain ).
Bahwa di Indonesia laut tidak boleh (atau belum?) disertifikatkan, ternyata jelas, karena laut sebagai bagian dari kekayaan alam seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (ayat 3, Pasal 33, UUD 1945). Di dalam rangka ini negara dapat memberikan izin pemanfaatan laut kepada pihak tertentu, tetapi tidak untuk dimiliki secara pribadi, dan dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan dan keadilan. Selain menurut hukum nasional, bahwa laut sebagai sumber daya milik umum juga diatur menurut hukum internasional; sehingga selain tidak dapat dimiliki secara pribadi, penggunaannya juga harus diatur untuk umum (dari berbagai sumber). Namun pelaksanaan dari prinsip pengelolaan laut sebagai SDA Milik Umum ini juga sangat tergantung pada komitmen pemerintah dan jabatannya, serta sangat tergantung pada pengawasan, mengingat banyak rencana pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup yang yang bagus, realistis, dan rasional selama ini ternyata pelaksanaanya gagal di lapangan. Sebagai contoh adalah Sistem Silvikultur “Tebang Pilih, Tanam Indonesia” (TPTI) pada era Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang ternyata gagal di dalam pelaksanaan. TPTI sering diplesetkan menjadi “Tebangnya Pasti, Tanamnya Insya Allah”. Plesetan ini bukan sekedar di mulut seperti Cak Lontong, tapi betul-betul dipraktekkan di lapangan, dan kebetulan Allahnya tdk Insya, karena Allah tidak tahu-menahu kok diikut-ikutkan, itu perbuatan manusia, maunya manusia. Pengusaha HPH yang mencangkuli bekas tebangan dan hendak menanaminya kembali dengan anakan pohon yang ada (sesuai ketentuan TPTI), ternyata melihat batu bara di dalamnya “ah kita bongkar saja Batu Baranya!”. Dengan demikian mereka juga tidak jadi juga memelihara Sisa Tegakan Pohon di sekitarnya sesuai ketentuan TPTI, maka habislah hutan kita. Bahkan kegagalan Rencana Pengelolaan SDA dan LH di bidang Kehutanan ini terulang pada era Penambangan Batubara saat ini, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, di mana banyak bekas galian tambang (void) yang tetap terbuka, tidak di reklamasi dan direvegetasi sesuai ketentuan yang berlaku. Banyak void yang memakan korban, anak tenggelam, karena selain tidak di reklamasi dan direvegetasi juga tidak dipagari. Sedikitnya terdapat 15 anak meninggal tenggelam di void selama lima tahun terakhir, atau 32 anak selama 2011 – 2018 (dari berbagai sumber).
*Harihanto - Guru Besar Lingkungan, Pembangunan, dan Perubahan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ; Inisiator Pembentukan Program Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Mulawarman; Ketua Dewan Pakar Pertalindo Kaltim; Anggota Dewan Pakar IATPI Kaltim
Warta Kaltim @2025-Jul (editor) Terbit 23 Juni 2025