NEWS:

  • Jasa Raharja Bersama Kemenkeu, dan Akademisi Bahas Penguatan Regulasi Penyelenggaraan Program Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
  • Dorong Tertib Administrasi Kendaraan, Jasa Raharja dan Korlantas Polri Cek Langsung Proses Pelayanan BPKB
  • Data BPS, Ini 10 Provinsi Termiskin Di Indonesia
  • Jasa Raharja Dukung Kegiatan ‘Polantas Menyapa’ Demi Terwujudnya Indonesia Emas yang Tertib Berlalu Lintas
  • Implementasi Business Registration SDGs UMKM di Kaltim jiCA Jepang Gandeng Unmul

Oleh: Harihanto

561Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya berjudul “Penduduk Bumi (Manusia) sebagai Sumber Segala Masalah di Bumi”, yang saya tulis di dalam rangka memperingati Hari Kependudukan Sedunia, 11 Juli 2025. Ya, seperti yang telah saya tulis sebelumnya, memang manusia (penduduk bumi) merupakan sumber segala masalah di bumi; karena manusia sebagai makhluk dominan di bumi, manusia mempunyai kepentingan atas bumi, karena manusia hidup di bumi. Terkait dengan kepentingannya itu manusia mengenal masalah, istilah yang tidak dikenal oleh binatang. Jadi walau terhadap jumlah penduduk bumi yang delapan milyar lebih saat ini belum ada kesimpulan yang pasti, apakah sudah terlalu banyak? Namun faktanya  jumlah penduduk bumi bertambah terus, dari lima milyar pada tahun 1987 menjadi delapan milyar lebih tahun ini, walau laju pertumbuhannya cenderung menurun. Jika pada 1930 - 1960 (sebelum diperkenalkannya program Keluarga Berencana) Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dunia 2,15% per tahun, menjadi 2,1% per tahun pada 1965 - 1970, kemudian menurun hingga 1,1% per tahun 2015 - 2020. Sejalan dengan sifat manusia seperti yang diuraikan di atas, sekali lagi, semakin  banyak penduduk, berarti semakin banyak masalah, termasuk masalah lingkungan. Baik karena pengaruh langsung dari jumlah penduduk yang semakin banyak itu, maupun pengaruh kualitas (perilakunya) yang semakin macam-macam juga.

Kembali kepada jumlah penduduk dunia saat ini yang mencapai delapan milyar lebih itu, walau belum ada kesimpulan yang pasti tentang besar atau kuantitasnya itu, namun sebagian ahli (antara lain Fedorof, 2006) menilai bahwa jumlah itu sudah melebihi Daya Dukung (kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan di dalamnya) dan Daya Tampung Lingkungan (kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, benda, dan energi yang masuk ke dalamnya). Lebih jauh dia menyatakan bahwa manusia harus sungguh-sungguh berupaya agar pertumbuhan penduduk dapat terkendali. Perubahan iklim yang terjadi saat ini akibat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat berakibat buruk pada produksi pertanian, sehingga milyaran penduduk bumi terancam kelaparan. Sedangkan Beddington, Chief Scientific Advisor British Government menyatakan bahwa akibat Perubahan Iklim dan Ledakan Jumlah Penduduk menjelang tahun 2030, akan terjadi Kekurangan Pangan, Kelangkaan Air dan Energi yang luar biasa.

Jadi karena jelas bahwa manusia merupakan Sumber dari Segala Masalah di Bumi, termasuk Masalah Lingkungan, dengan berbagai alasan latar belakangnya seperti yang diuraikan di atas; maka meminjam istilah Filsuf “Solusi Mendasar” bagi semua masalah di Bumi adalah “Pengendalian Pertumbuhan Jumlah Penduduk”. Pertumbuhan jumlah penduduk harus diarahkan menuju nol (Zero Population Growth), sehingga tercapai Jumlah Penduduk yang Stabil dan menghasilkan Keseimbangan antara Tingkat Kematian dan Tingkat Kelahiran, yang berarti   Tingkat Fertilitas Total (TFR) sama dengan Tingkat Penggantian (Replacement Level), yakni sekitar 2,1[i] anak per wanita, untuk menggantikan kedua orang tuanya. Menurut Teori Deontik, Pembatasan Kelahiran bukan merupakan penggerogotan kebebasan pribadi; setiap orang bebas menentukan jumlah anak yang mereka inginkan, tetapi tidak bebas untuk melahirkan semua anak yang dapat dilahirkan; manusia tidak wajib melahirkan anak, tapi wajib menjamin dan mengusahakan agar manusia yang telah dilahirkan memiliki  taraf hidup yang memadai.

Dengan Jumlah Penduduk yang Stabil, emisi Gas Karbon (salah satu jenis Gas Rumah Kaca) yang menyebabkan Perubahan Iklim misalnya, diharapkan juga dapat tidak bertambah. Demikian pula kebutuhan akan pangan, sehingga lingkungan/ekosistem tidak akan terlalu terbebani. Walau masalahnya tidak sesederhana itu, terutama yang menyangkut emisi Karbon, karena penghasil emisi itu tidak merata. Penduduk di negara-negara maju menghasilkan emisi 50 kali lebih besar dibanding penduduk di negara-negara miskin (IPCC di dalam DW, diakses tanggal 17 Juli 2025). Dengan pertumbuhan penduduk nol diharapkan tercipta hubungan yang serasi antara penduduk dan lingkungan. Para penganut Teori Lingkungan menyatakan bahwa manusialah yang mempunyai kewajiban memelihara keserasian hubungan ini; walau dengan konsekuensi pengurangan kebebasan individu, di dalam hal ini mengurangi jumlah anak. Pandangan yang mengambil jalan tengah pun di dalam melihat hubungan antara penduduk dan lingkungan juga menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan penduduk dan ekonomi perlu dikurangi karena dapat mempengaruhi intensitas maupun frekuensi timbulnya masalah. 

Pengendalian Pertumbuhan Jumlah Penduduk dapat dilakukan secara Kelembagaan melalui Peran Pemerintah, misalnya melalui Program Keluarga Berencana (di Indonesia sekarang namanya Program Pembangunan Keluarga), maupun melalui perorangan; karen menurut penganut paham Keluarga Berencana, keputusan mengenai pembatasan kelahiran harus dibuat oleh para orang tua. Secara kelembagaan pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai Teknologi Kontrasepsi yang telah dikembangkan, mulai dari Teknologi Kontrasepsi Hormonal (Pil dan lain-lain) sampai Sterilisasi (Vasektomi untuk wanita dan Tubektomi untuk pria). Sedangkan pengendalian Pertumbuhan Penduduk secara individual dapat dilakukan di dalam bentuk Pantang Berkala di dalam melakukan hubungan suami-istri. Pengendalian Pertumbuhan Jumlah Penduduk secara Kelembagaan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia melalui Program Keluarga Berencana (KB) misalnya telah berhasil menurunkan Laju Pertumbuhan Penduduk dari 2,33% per tahun selama 1961 - 1971 (Program KB dimulai tahun 1970, awal Era Orde Baru) menjadi sekitar 1,44% selama 1990 - 2000 (akhir masa Orde Baru), suatu angka penurunan LPP yang cukup berarti.

[1] TFR pada Tingkat Penggantian bukan 2,0 tetapi karena diasumsikan: (1)  tidak semua bayi perempuan yang lahir akan bertahan hidup sampai usia subur dan melahirkan anak, dan (2) Rasio Jenis Kelamin saat lahir biasanya lebih dari 100,00 (lebih banyak laki-laki dibanding perempuan) . 

1Ditulis di dalam rangka memperingati hari Kependudukan Sedunia, 11 Juli 2025- Harihanto: Guru Besar Lingkungan, Pembangunan, dan Perubahan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Mulawarman. Pengampu Mata Kuliah “Penduduk, Lingkungan, dan Pembangunan” pada Program Pendidikan Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Mulawarman. Inisiator Pembentukan Program Doktor Ilmu Lingkungan,  Universitas Mulawarman. Dewan Pengawas Koalisi Kependudukan Indonesia, Kaltim

Warta Kaltim @2025-Jul

 
 

 

 



WARTA TERKAIT

WARTA UPDATE

« »