Setiap kali menjelang Lebaran (hari Idulfitri) selalu muncul berita tentang penggunaan kendaraan dinas oleh pejabat atau aparat sipil negara (ASN) ataupun berita tentang larangannya; demikian pula pada lebaran tahun 2025 ini. Berita terakhir adalah tentang Walikota Depok yang memberikan izin kepada ASN di lingkungan Kantor Wali Kota Depok untuk menggunakan kendaraan dinas sebagai sarana mudik lebaran (Kompas.com., 29/03/2025). Usai mengeluarkan kebijakan tersebut sang Wali Kota banyak mendapat sorotan, baik berupa “kecaman” dari Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK (Trubunnews, 31 Maret 2025) maupun “teguran” dari Wakil Menteri Dalam Negeri/Wamendagri (KOMPASTV, 1 April 2025), bahkan “ancaman sanksi” dari sang Wakil Menteri (Syahidan, inilah.com, 31 Maret 2025). KPK melarang penggunaan kendaraan dinas untuk mudik lebaran karena mudik merupakan urusan pribadi bukan urusan dinas. Sedangkan kendaraan dinas seharusnya hanya digunakan untuk urusan dinas. Ditambahkan oleh Wamendagri bahwa kendaraan dinas adalah aset negara. Sedangkan Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo beralasan karena kendaraan dinas dibeli dengan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) (Wiryono dan Setuningsih; Kompas.com, 29/03/2025).
Ya, sang Wali Kota membuat kebijakan seperti itu mungkin karena yang bersangkutan belum pernah belajar Sosiologi Korupsi, belum pernah membaca Definisi Korupsi, tidak pernah mendapat Kuliah Pendidikan Anti Korupsi ketika bersekolah. Sudah benar apa yang dinyatakan oleh para Pejabat dan Pengamat yang disebut di atas, bahwa “penggunaan kendaraan dinas untuk urusan pribadi, termasuk mudik lebaran” tergolong Korupsi; karena kendaraan itu dibeli dengan uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak, retribusi, cukai, bea masuk, dan lain-lain itu. Pejabat yang sudah paham bahwa memakai kendaraan dinas untuk urusan pribadi itu tergolong Korupsi mestinya tidak akan melakukan perbuatan seperti itu, seperti yang dilakukan oleh Dosen Pembimbing saya ketika saya mengikuti Pendidikan jenjang S2 di Universitas hasanuddin (Unhas) dulu. Kebetulan tidak lama setelah menjadi Pembimbing saya beliua diangkat sebagai Direktur Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Selatan oleh Gubernur yang juga mantan Rektor Unhas. Kalau tidak salah beliau menggantikan Prof. B yang juga terkenal kejujurannya itu. Sebagai Direktur BPD beliau mendapat sebuah mobil dinas, yang kalau di rumah ditaruh di bagian dalam garasi, mobil pribadinya (Corolla DX) malah dutaruh di depan garasi, karena gaeasinya hanya muat satu mobil. Beliau bilang (empat mata Ketika saya berkonsultasi ke rumah beliau) kepada saya bahwa yang namanya mobil dinas itu tidak boleh untuk mengantar istri ke pasar. Hal ini pernah saya tulis di Koran Daerah dengan judul “Kalau Semua Pejabat Seperti Ini Amanlah Indonesia”. Oleh karena itu ketika saya membaca berita tentang Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kediri yang dihadang di jalan oleh dua pemuda ketika sedang menggunakan mobil dinas pada malam hari, saya menduga bahwa pelakunya paham bahwa “menggunakan mobil dinas untuk urusan pribadi merupakan perbuatan korup”. Tetapi di dalam kasus ini peluangnya masih separuh-separuh, apakah Kajari tersebut sedang mengurus urusan pribadi atau sedang berdinas, yang jelas waktunya malam hari (bukan jam kantor).Menurut berita Tempo Media (27 Desember 2024) ternyata sang Kajari pergi makan mala Bersama keluarga. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan, Sebagai Kajari justru harus tahu bahwa perbuatan itu termasuk Korupsi. Sayangnya berita tentang pelaku penghadangan ini agak “miring”, ada yang mengatakan mereka berdua “mabuk”, dan akhirnya mereka ditahan polisi, bahkan sudah dituntut hukumn penjara 1 tahu 6 bulan oleh Jaksa (Ismawati, Radar Kediri, 20 Maret 2025). Mengomentari kasus ini, tampaknya persepsi masyaraakat bahwa “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” benar adanya. Di dalam kasus ini sang Kajari sebagai aparat penagak hukum seharusnya tahu, paham, dan menrapkan, serta memberikan contoh kepada Masyarakat awam bahwa “menggunakan mobil dinas untuk makan bersama keluarga di luar” tergolong perbuatan korup. Silakan pembaca Tulisan ini membadingkan perilaku sang Kajari dengan Pernyataan KPK, dan Wamendagri yang dikutip di atas.
Definisi Korupsi itu sangat luas, mencakup “perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan ucapan yang menghina atau memfitnah” (The Lexicon 1978, di dalam Hamzah 1985). Bahkan menurut Lubis dan Scott (1995), “Korupsi mempuyai banyak muka, terdapat di bidang pemerintahan maupun swasta, dapat terjadi pada pejabat tinggi, menengah, bawah, dan pengusaha”. Jadi Korupsi tidak selalu berbentuk uang negara yang dimasukkan ke dalam kantong pribadi. Oleh karena itu ketika ada seorang mantan pejabat negara yang sudah dinobatkan sebagai pejabat paling korup oleh sebuah Lembaga/organisasi internasional masih menantang “silakan kalau bisa membuktikan!”, mengindikasikan bahwa yang bersangkutan belum memahami Definisi Korupsi; dikiranya Korupsi selalu berbentuk uang. Padahal organisasi tersebut mungkin melihat tindakan lain dari sang mantan pejabat yang memenuhi Definisi Korupsi yang sangat luas seperti yang disebut di atas; bukan Korupsi di dalam bentuk uang. Definisi Korupsi yang sangat luas seperti itu dapat pula mencakup Perbuatan yang tergolong Nepotisme – “tindakan yang mengutamakan atau memberikan keuntungan kepada kerabat atau sanak saudara, terutama dalam hal jabatan, pangkat, atau posisi”, dan Kolusi – “persekongkolan untuk mencapai tujuan yang tidak terpuji atau melanggar hukum dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok”.
Bahkan pernah ada seorang pejabat publik (poli-tikus) yang bertanya di depan Wartawan “apa bedanya dinasti politik (yang akan dibentuk oleh seorang Pejabat Publik yang sedang berkuasa) dengan dinasti pada zaman kerajaan/monarki?”. Lo ya jelas berbeda lik, pada zaman Kerajaan/Monarki, Kepala Negara adalah seorang Raja yang berkuasa karena Keturunan/secara Turun-Temurun, dan rakyat menerima, serta percaya bahwa Raja adalah Utusan Tuhan. Ini yang disebut Konsep “Teokraksi” (Dewa Raja) yang melegitimasi Kekuasaan Raja serta mempromosikan Stabiltas Sosial. Jadi tidak menjadi masalah. Sedangkan Indonesia sekarang menganut bentuk Pemerintahan Republik, di mana Kekuasaan Tertinggi berada dan Berasal dari Rakyat, Dilaksanakan oleh Rakyat melalui Wakilnya yang Dipilih melalui Pemilihan Umum (bukan Diwariskan seperti Raja), dan Hasil Pelaksanaan Kedaulatan itu harus Dikembalikan kepada Rakyat (re = kembali, publik = rakyat). Jadi istilahnya “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat”. Pemerintahan Republik ini merupakan bentuk Pemerintahan Modern, karena mengedepankan Kedaultan Rakyat dan memilih Pemimpinnya secara Periodik, bereda dengan Kerajanaan, yang Kekuasaan dan Pemimpinnya Diwariskan. Selain itu sebagai negara Modern, Indonesia saat ini juga menganut dan menerapkan Sistem Adminsitarasi Negara Modern , yang Memisahkan “Kekayaan” Pejabat Negara dengan “Kekayaan Negara”, untuk mencegah Korupsi dan Penyalah-gunaan Kekuasaan. Berbeda dengan Sistem Pemerintahan Monarki, di mana Kekayaan Negara dan Kekayaan Pejabat Negara (terutama Raja/Ratu) umumnya Menjadi Satu atau tidak memiliki garis pemisah yang jelas, apa lagi di negara Monarki Absolut. Uang Negara ya uangnya Raja juga, Penggunaannya terserah Raja, apakah mau digunakan untuk Belanja Istri ke Pasar? Atau untuk membangun Jalan?, tidak ada rakyat yang protes, karena aturan dan Sistemnya memang seperti itu. Jadi Perbuatan yang pada zaman Monarki tidak tergolong Korupsi sekarang kategorinya menjadi Korupsi. “Upeti” bagi Raja yang pada zaman itu tidak tergolong Korupsi, sekarang digolongkan sebagai Korupsi. Demikian pula “Politik Uang” (money politics) yang biasa berlangsung di Pemilihan Kepala Desa (Kades) pd zaman kerajaan di dalam bentuk mengundang rakyat untuk makan-makan dan “nyanguin” di antara para Calon Kades adalah hal yang biasa; tidak terjadi pertengkaran di antara Calon Kades. Sekarang perbuatan itu tergolong Korupsi.
Berdasarkan Indikasi dan Masalah yang disebutkan di atas, maka para Warga Negara yang hendak terjun ke dunia Politik Praktis (karena semua mempunyai Hak Politik yang sama? Untuk Dipilih dan Memilih?) hendaknya belajar dulu Ilmu Politik, belajar Sistem Adminsitrasi Negara Modern, belajar Sosiologi Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi. Selain itu seperti yang sering saya sarankan kepada mahasiswa saya adalah “silakan anda terjun ke Politik Praktis, menjadi Poli-tikus tapi harus dengan niat untuk “mengurus Masyarakat, Bangsa, dan Negara”, jangan dengan niat yang lain, “Korupsi” misalnya. Karena tanpa harus Korupsi, saya kira dengan Hak-hak anda yang resmi sebagai Pejabat Publik (gaji, tunjangan, dsb) cukup untuk Hidup Layak. Jika anda punya uang jangan gunakan untuk berpolitik (“politik uang”); karena nanti kalau anda terpilih sebagai Pejabat Publik pasti akan nyari “balik-an” kata almarhum teman saya. Lebih baik uang itu anda simpan di bank atau membeli saham, atau usaha lainnya (kalau mampu), kan ada hasilnya juga, walau mungkin tidak besar. Jika anda menganggap bahwa “bunga bank” itu hukumnya Riba, anda bisa menyimpannya di bank Syariah. Sedangkan di sisi lain masih banyak warga yang Hidupnya Susah (Subekti, katadata.co.id, 20 Januari 2025), perlu Dibantu, Diurus, Inilah tugas anda sebagai Poli-tikus (Pejabat Publik). Bahkan mungkin makannya Senin – Kamis, walau tidak berniat Puasa Senin – Kamis. Bahkan Presiden Prabowo sendiri mengakui merasa sedih karena banyak warga RI yang hidupnya sulit (cnn.Indonesia, 16 Mei 2024). Di sisi lain “Politik” memang juga diperlukan, karena jika tidak ada yang mau terjun ke politik, siapa yang mengurus negara? , karena hakekat politik adalah “seni mengatur dan mengurus negara”. Tapi jangan semua terjun ke politik, “kalau semua berpolitik, siapa yang bekerja?”, kata alm. Mantan Presdien ke 3 BJ. Habibie (SOLOPOS, 24 Februari 2013). Berarti pak Habibie menilai bahwa “poli-tikus itu tidak bekerja?”
*Harihanto Guru Besar Fisipol Unmul
Warta Kaltim @2025- Juli (Ed)