Oleh: Siswanto-Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia Propinsi Kalimantan Timur
Bulan Agustus selalu menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia. Setiap 17 Agustus, kita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah tonggak sejarah yang menyimbolkan kebebasan dari penjajahan. Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada 25 Agustus, bangsa ini juga memperingati Hari Perumahan Nasional (Harpernas)—sebuah refleksi atas perjuangan rakyat Indonesia dalam mendapatkan hak dasar: hunian yang layak, aman, dan terjangkau.dan ini sebuah momentum yang menandai pentingnya pemenuhan hak dasar masyarakat atas hunian tersebut. Namun di balik semangat peringatan ini, masih tersimpan sejumlah tantangan besar dalam sektor perumahan nasional yang perlu dibedah secara mendalam. Meski sudah 80 tahun merdeka, jutaan rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya "merdeka" di rumahnya sendiri.
Realita yang Mengkhawatirkan: Backlog, Ketimpangan dan Akses Hunian yang Masih Terbatas
Berdasarkan data terbaru Kementerian PUPR, Berdasarkan data Kementerian PUPR, Indonesia menghadapi backlog (kekurangan kebutuhan rumah) sebesar 12,7 juta unit. Artinya, jutaan keluarga masih belum memiliki rumah sendiri atau hidup dalam kondisi yang tidak layak. Permasalahan ini tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif: banyak rumah dibangun tanpa sanitasi memadai, ventilasi buruk, atau berada di kawasan rawan bencana.
Permukiman Kumuh di Tengah Modernisasi dan Urbanisasi Tak Terkendali
Indonesia juga menghadapi urbanisasi masif tanpa perencanaan tata ruang yang memadai. Perpindahan penduduk dari desa ke kota tidak diimbangi dengan penyediaan hunian terencana. Hal ini menyebabkan munculnya permukiman kumuh di berbagai kota besar. Di tengah pembangunan kota dan gedung pencakar langit, masih terdapat kawasan permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, lebih dari 38.000 hektare permukiman yang tersebar di seluruh Indonesia masih masuk kategori kawasan kumuh.
Permukiman ini sering kali kekurangan air bersih, sanitasi, akses transportasi, dan infrastruktur dasar. Kondisi lingkungan yang padat dan tidak sehat juga menjadi sarang penyakit menular seperti DBD, diare, dan TBC, juga rawan terhadap bencana seperti kebakaran dan banjir. Ironis, di negara yang katanya sedang tumbuh menuju ekonomi maju, masih banyak warga hidup tanpa kepastian tempat tinggal yang manusiawi.
Krisis Keterjangkauan Harga Rumah
Fenomena yang juga perlu menjadi perhatian adalah krisis keterjangkauan perumahan (housing affordability crisis) dan ketimpangan akses terhadap perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan pekerja informal. Harga rumah tumbuh 3–6% per tahun, sementara kenaikan pendapatan hanya 1–2%. Harga rumah terus naik seiring perkembangan kota, sementara pertumbuhan upah masyarakat berjalan lambat. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, harga rumah sederhana tipe 36 bisa menyentuh angka Rp300–500 juta, jauh dari kemampuan finansial mayoritas warga. sementara mayoritas rakyat hanya mampu mencicil di bawah Rp150 juta.
Akibatnya, generasi muda, pekerja informal, hingga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) semakin sulit menjangkau rumah pertama mereka. Masalah lainnya adalah Mereka kerap tidak memenuhi syarat administrasi untuk mengakses KPR bersubsidi, meskipun justru mereka yang paling membutuhkan bantuan tersebut. Tak heran bila generasi muda dan kelas pekerja kini semakin sulit memiliki rumah, bahkan untuk tipe terkecil sekalipun. Akibatnya, banyak yang terpaksa menyewa rumah sepanjang hidup, atau tinggal di permukiman informal yang berisiko tinggi dari sisi kesehatan dan keamanan.
Solusi: Harapan dalam Kebijakan Pemerintah dan Program Tindakan Nyata
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi krisis perumahan ini. Beberapa di antaranya:
- Program Sejuta Rumah (PSR)
Mendorong pembangunan rumah untuk MBR melalui sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. - Program subsidi rumah seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
Skema KPR subsidi dengan bunga rendah (5%) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. tetapi belum sepenuhnya menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah informal. Syarat administratif perbankan membuat ojek online, pedagang, dan buruh harian sulit mendapat KPR. - Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat)
- Program jangka panjang untuk pembiayaan rumah melalui iuran pekerja dan pemberi kerja.tetapi masih ada beberapa rumah dibangun secara swadaya tanpa standar struktur, sanitasi, atau sirkulasi udara. Banyak proyek perumahan (terutama subsidi) dibangun jauh dari pusat kota tanpa transportasi umum, sekolah, atau rumah sakit.
Hal ini menciptakan “perumahan tidur” (hanya dipakai malam hari) dan ketergantungan tinggi pada kendaraan pribadi.
- Konversi Lahan & Tata Ruang yang Buruk
Alih fungsi lahan pertanian/subsisten menjadi kawasan perumahan tanpa tata ruang yang memadai. Kota besar kekurangan RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan ruang publik yang sehat.
- Revitalisasi kawasan kumuh melalui program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh).
Meski demikian, efektivitas program ini masih terkendala oleh akses perbankan, persyaratan administrasi yang kaku, serta belum terintegrasinya transportasi dan fasilitas umum dengan kawasan perumahan baru.
Menghadapi permasalahan ini, solusi perlu ditempuh secara multi-level dan lintas sektor, melibatkan pemerintah pusat, daerah, swasta, dan Masyarakat dalam mewujudkan visi “merdeka di rumah sendiri”.
1. Solusi Kebijakan:
- Reformasi skema KPR agar ramah bagi pekerja informal dan sektor non-formal.
- Standarisasi tata ruang untuk mencegah pembangunan rumah di lokasi rawan bencana.
- Pemerataan akses subsidi perumahan, dengan penyederhanaan proses KPR untuk MBR dan pekerja informal.
- Penguatan Program Sejuta Rumah, yang melibatkan skema kolaboratif antara BUMN, swasta, dan koperasi.
- Realisasi Percepatan implementasi Tapera dengan sistem yang transparan dan akuntabel. sebagai dana jangka panjang pembiayaan rumah.
- Revitalisasi kawasan kumuh melalui program integratif seperti KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) dan penataan kampung kota serta Perlindungan hukum terhadap masyarakat miskin kota dari penggusuran sepihak.
- Regulasi lahan yang lebih pro-rakyat, untuk menghindari spekulasi harga tanah dan membuka peluang pembangunan rumah vertikal di kota.
- Regulasi Skema Pembiayaan Inovatif. Pembiayaan perbankan, dapat menggunakan alternatif seperti: Skema sewa-beli, Kredit mikro perumahan dan optimalisasi Dana Tapera
- Regulasi penerapan pemetaan pola masalah Sertifikasi Tanah & One Map Policy
Untuk menghindari konflik lahan dan mafia tanah.
2. Solusi Teknis:
- Penerapan teknologi bangunan sederhana, rumah murah hemat biaya, cepat bangun (prefab, modular), dan ramah lingkungan.
- Optimalisasi Pengembangan pembangunan perumahan vertikal (rusunawa atau rusunami) di kawasan padat di tengah kota dengan akses transportasi dan layanan publik.
- Pemberdayaan komunitas lokal melalui program perumahan swadaya berbasis koperasi dan bantuan teknis pemerintah.
- Integrasi dan Penyediaan infrastruktur dasar (air bersih, sanitasi, listrik, jalan lingkungan, transportasi publik) dalam setiap pembangunan perumahan baru di seluruh kawasan perumahan subsidi.
- Pelibatan masyarakat lokal dalam program padat karya swadaya rumah layak huni.
Penutup: Saatnya Bergerak Bersama mewujudkan Makna Kemerdekaan yang Sebenarnya
Kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik. Ia juga mencakup kebebasan dari ketimpangan, dari rasa waswas kehilangan tempat tinggal, dan dari hidup di bawah atap yang tak layak. Peringatan Hari Kemerdekaan dan Hari Perumahan Nasional seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan retorika belaka. Ia mesti menjadi pemicu mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi negara adil dan makmur dimulai dari perubahan kebijakan, peningkatan anggaran, dan percepatan realisasi program dalam memastikan setiap keluarga Indonesia memiliki rumah yang layak dihuni. Rumah bukan hanya tempat berteduh, tetapi juga tempat membangun masa depan yang lebih baik.
Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen bangsa bekerja bersama untuk memastikan bahwa kemerdekaan yang sejati adalah ketika rakyat setiap warga negara—apa pun latar belakang dan penghasilannya—bisa hidup dengan aman, sehat, dan bermartabat—di rumahnya sendiri karena rumah adalah hak, bukan privilese.
Tentang Penulis
Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia (KKI) Provinsi Kalimantan Timur. Berkomitmen mendorong perwujudan pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan kependudukan yang holistic, komprehensif dan berbasis bukti. Berfokus pada advokasi, edukasi, dan penguatan kebijakan pembangunan kependudukan yang berkelanjutan dan berkeadilan mengarusutamakan isu-isu kependudukan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur. Mencakup isu-isu strategis seperti: bonus demografi, stunting, migrasi, urbanisasi, perlindungan kelompok rentan, ketahanan keluarga, dan integrasi kependudukan dalam adaptasi perubahan iklim dan pembangunan wilayah