Pengawetan makanan bukan baru dilakukan kemarin sore. Pengetahuan ini dipercaya sudah ada puluhan ribu tahun lalu, mulai dengan cara dikeringkan, diasinkan hingga dipanggang.
Begitu pula teknologi pengemasan makanan, yang juga terus berkembang dari mulai menggunakan botol hingga kaleng.
Masa perang dunia pertama menjadi saat awal pengawetan makanan dengan menggunakan kaleng mulai digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tentara. Teknologi tersebut setidaknya berusia 200 tahun dan terus disempurnakan di sejumlah negara.
Pengemasan dengan cara dikalengkan pada awalnya juga tidak menjamin makanan terawetkan dengan baik. Hingga penelitian Louis Pasteur di 1860-an yang menemukan bahwa panas mampu menghancurkan bakteri.
Miliaran makanan kaleng diproduksi setiap tahunnya di seluruh dunia. Jika awalnya makanan dikalengkan hanya untuk memenuhi kebutuhan kedaruratan gizi di medan perang, kemudian untuk logistik kebencanaan, kini sengaja dirancang untuk memenuhi hasrat pecinta kuliner dan menjadi buah tangan praktis untuk dibawa para pelancong dunia.
Bahkan pemandu-pemandu wisata yang melayani grup tur di Semenanjung Iberia tidak lupa merekomendasikan ikan kaleng khas Portugal sebagai oleh-oleh.
Mano Cheung contohnya, pemandu wisata asal Rotterdam, Belanda, yang kebetulan memandu turis menyusuri pesisir Semenanjung itu dari sisi Spanyol hingga ke Portugal pertengahan Oktober 2019 mengingatkan kembali tamu-tamunya untuk membeli ikan-ikan sarden dan cod dalam kaleng berbentuk kotak maupun silinder tersebut tersebut sesaat sebelum melintasi perbatasan Portugal dan Spanyol.
Untuk di Jepang bahkan lebih menarik lagi, karena ada beberapa restoran dan bar bahkan khusus menyajikan berbagai menu masakan dalam kaleng, salah satunya seperti bar mr kanso Honten di Osaka. Mereka sengaja hanya menyediakan masakan kaleng yang dipanaskan dulu untuk menemani minum wine atau minuman lainnya.
Jepang bahkan sudah mengalengkan takoyaki, okonomiyaki, yakitori, kabayaki yakni ikan yang sudah dibelah dan dicelupkan ke dalam tare atau saus teriyaki. Makanan-makanan ekstrem pun tidak luput dari pengalengan di sana.
Awal di Indonesia
Teknologi makanan kaleng masuk dan diadopsi di Indonesia di era 1970-an,tepatnya 1977 untuk mengalengkan tempe di saat Orde Baru sedang gencar-gencarnya mengampanyekan gerakan tempe nasional.
Kepala Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Satriyo Krido Wahono mengatakan teknologi pengalengan makanan memang berkembang pertama kali di negara empat musim.
Karenanya versi tersebut yang berkembang secara luas, seperti halnya sarden atau kornet dengan bumbu yang standar negara empat musim. Berbeda dengan apa yang dikembangkan LIPI sejak awal, yang memang sengaja meneliti untuk mengembangkan masakan-masakan tradisional khas Nusantara. Makananmakanan kaleng yang harapannya mampu membawa nama Indonesia ke kancah dunia.
“Dulu bahkan sempat ada lombanya resep tempe terbaik kita kalengkan. Tempe kari kita kalengkan. Selain itu ada tempe bacem kaleng dan berapa menu lainnya,” ujar Satriyo.
Masakan tempe dengan bumbunya yang khas tersebut sempat dikembangkan di stasiun penelitian LIPI di Lampung di era 1970-an tersebut, selain juga membantu mengalengkan produk-produk pertanian seperti jagung muda atau baby corn.
Pada masa reformasi fasilitas penelitian tersebut terkena imbas kerusuhan, sejak saat itu pusat penelitian pengalengan di Lampung dan Bandung disatukan dengan yang ada di Yogyakarta.
Lantas peneliti-peneliti LIPI mulai kembali meriset masakan-masakan tradisional rumahan yang memang awam bagi masyarakat lokal untuk dikalengkan sebagai upaya mengoptimalkan alat. Mulai dari sayur lodeh, sayur lombok ijo khas Gunung Kidul, mangut lele khas Bantul, gudeg khas Yogyakarta.
“Teknologi lama tapi segmentasi saja dibuat baru. Nah itu, di sisi lain timbul masalah baru karenakan karakteristik bumbu Eropa dan kita yang full rempah belum tereksplore di teknologi ini,” kata Satriyo menjelaskan tantangan penelitian masakan tradisional khas Nusantara kalengan.
Khusus masakan Nusantara
Ada sekitar 1.430 suku bangsa di Indonesia, dan semua memiliki masakan tradisionalnya masing-masing. Sekalipun ada masakan yang mirip namun tetap berbeda rasanya.
Contoh rendang Payakumbuh masingmasing berbeda rasa dengan yang ada di wilayah lain, seperti rendang gadih salah satunya. Sedangkan di Palembang ada pindang patin yang menyerupai asam padeh namun tentu memiliki rasa yang berbeda.
Karena itu, Peneliti Teknik Proses BPTBA LIPI Asep Nurhikmat mengatakan pengembangan teknologi pengalengan masakan tradisional Indonesia menjanjikan, mengingat rasanya sangat kaya dan mampu bertahan satu tahun lebih.
Dengan proses pengalengan sempurna diikuti kontrol kualitas masakan tradisional yang pernah dikalengkan LIPI bahkan bertahan hingga empat tahun. “Bahkan pernah kita coba buka empat tahun itu rasanya masih sama. Tapi kita kan mengikuti aturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang memberikan batas satu tahun plus enam bulan untuk masa penarikan edar,” ujar Asep.
Meskipun kekayaan rasa tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk riset makanan kalengan, seperti halnya gudeg yang, menurut dia, sejauh ini menjadi masakan tradisional yang paling sulit yang pernah mereka kemas dengan teknologi pengalengan tersebut tetap saja pantas untuk dikembangkan.
“Paling susah gudeg yang terdiri dari beberapa macam-macam komponen. Nangka, telor, kerecek, kacang tolo, areh, ayam, tahu atau tempe. Sehingga dari sisi penelitian saya, ini makanan paling susah,” ujar Asep.
Ia mencontohkan ayam yang akan dimasukkan kaleng harus bersih dari bakteri, harus dimasak dengan suhu tinggi mencapai 121oC dengan waktu tertentu sesuai ketentuan. Namun di sisi lain, nangka muda sebagai sayurnya tidak bisa lama dipanaskan karena bisa hancur.
“Jadi awalnya kita buat masing-masing komponen diteliti dulu, penelitian bisa sampai tujuh komponen. Telur saja ada dua, kita teliti kuningnya dan putihnya saja. Saya mau tahu yang paling pengaruh yang mana komponennya,” ujar Asep.
Jika seluruh komponen untuk membuat gudeg sudah siap, selanjutnya perlu disterilkan nilainya dengan menguji gizinya, tekstur, hingga warnanya. Lalu, dicari masing-masing sifat fisik komponen yang berhubungan dengan konduktivitas dan konveksinya.
Asep dan timnya lantas akan melakukan simulasi dengan komputer untuk penempatan komponen gudeg tadi di dalam kaleng sedemikian rupa, baru selanjutnya uji coba dilakukan secara riil.
“Selama ini (makanan kaleng) yang dijual itu semua homogen kayak sarden. Kalau ini heterogen komponennya,” ujar dia seraya menjelaskan perbedaan makanan kaleng yang LIPI kembangkan selama ini dan kerumitan menciptakan satu masakan tradisional Nusantara untuk dikalengkan.
Apa yang menjadi target penelitian Asep dan rekan-rekan penelitinya adalah mampu menghidangkan masakan tradisional Nusantara dalam kaleng selezat aslinya saat dihidangkan di atas piring. Dan itu berhasil dilakukan dengan proses penelitian yang cermat dan memakan waktu lebih lama.
Enam paten dikantongi
Sudah lebih dari 100 jenis masakan tradisional Nusantara mulai dari gudeg hingga pindang patin diteliti LIPI untuk bisa dikalengkan. “Total yang sudah dikalengkan baik yang tahap prariset sampai riset bahkan (izin edar BPOM) MD lebih dari 100 jenis makanan tradisional Indonesia.
Dari situ kenapa kita jadi PUI pengemasan makan tradisional olahan,” kata Satriyo menjelaskan capaian Pusat Unggulan Iptek Teknologi Pengemasan Makanan Tradisional LIPI di Gunung Kidul, Yogyakarta. Menurut dia, sudah ada pula 10 izin edar BPOM MD yang keluar untuk produk masakan tradisional yang menggunakan teknologi tersebut. Sedangkan jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memanfaatkan teknologi tersebut dan telah memasuki skala komersial ada dua merek untuk gudeg krecek khas Yogyakarta dan empal gentong khas Cirebon.
Selain itu, yang telah mengadopsi teknologi pengalengan makanan tradisional LIPI antara lain UKM di Payakumbuh, Sumatera Barat, yang memproduksi rendang, gudeg di Yogyakarta, dan empal gentong di Cirebon. “Kalau pindang patin mau ‘running’ lagi,” katanya. Hasil penelitian dan pengembangan teknologi makanan tradisional kalengan ini sudah memiliki paten. Tim peneliti Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam LIPI Gunung Kidul sudah mengantongi enam paten makanan tradisional yang dikalengkan tersebut. “Ada paten namanya komponen heterogen, kita sudah daftarkan,” kata Asep.
Selain itu, peneliti LIPI juga mematenkan alat ukur konduktivitas sederhana untuk keperluan pengalengan bahan makanan. Pasalnya, konduktivitas dari setiap makanan berbeda-beda sehingga diperlukan alat untuk memudahkan pengukuran. “Kan masing-masing bahan (makanan) tadi konduktivitasnya berbeda-beda, kita buat alat sederhananya untuk ngukurnya juga, kita patenkan juga,” ujar Asep.
Gudeg Bu Tjitro Pemanfaatan hasil riset dan teknologi pengemasan masakan tradisional yang dikembangkan LIPI telah membuka potensi “cuan” atau untung hingga miliaran rupiah bagi penggunanya, terutama UKM.
“Teknologi LIPI ini jelas akan terpakai apalagi kondisi masyarakat Indonesia, ya masyarakat globallah, lebih suka yang instan dari pada masak sendiri. Makanan instan besok pasti dicari,” kata Direktur Restoran Gudeg Bu Tjitro 1925 Burhanul Akbar Pasa. Laki-laki yang akrab disapa Danu itu tentu sudah membaca tren pasar nasional bahkan global.
Prospek masakan tradisional Yogyakarta dalam kaleng yang dikembangkannya cukup bagus karena tidak semua orang bisa membuat gudeg. Oleh karena itu, katanya, masyarakat pasti akan membeli jika ingin makan. Masakan tradisional khas Yogyakarta berbahan dasar gori atau nangka muda itu, tentu akan dicari wisatawan sebagai oleholeh. Persoalannya gudeg tidak tahan lama jika harus berlama-lama dikirim ke pelosok Indonesia atau keluar negeri.
Kita ‘lead’ di pengemasan makanan olahan dalam Prioritas Riset Nasional 2020-2024. Harapannya di akhir periode ada yang bisa penuhi standar pasar ekspor “ ” Satriyo Krido Kepala Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Teknologi pengalengan makanan benar-benar membantu kekurangan masakan-masakan tradisional yang syarat akan bumbu.
Danu menyebut produksi gudeg kaleng Bu Tjitro mencapai 15.000 per bulan untuk saat ini, dan biasanya dalam sebulan jumlah itu sudah terjual habis. Dengan harga jual sekitar Rp30.000 per kaleng maka prospek penjualan gudeg komplit yang mampu bertahan hingga lebih dari setahun setelah dikalengankan tersebut, bisa mencapai miliaran rupiah dalam setahun.
“Jadi prediksi saya akan semakin naik ke depan. Semakin banyak wisatawan datang semakin banyak yang butuh membeli oleh-oleh khas Yogya ini, semakin naik peminatnya gudeg kaleng,” ujar dia. Danu mengatakan bahwa pihaknya memasang target peningkatan perjualan rata-rata 2.000 gudeg kaleng setiap tahunnya. Meski demikian, belum ada rencana melakukan ekspor dalam waktu dekat, meski mereka sangat siap seandainya ada “buyer” berminat mengirim gudeggudeg kaleng tersebut menjelajah berbagai negara.
Sebelumnya Satriyo memang menjelaskan keinginan UKM untuk mengekspor masakan tradisional kalengan mereka sangat besar, namun terganjal volume ekspor dan strandarisasi jenis makanan kaleng berupa masakan tradisional itu.
Menurut dia, pasar Timur Tengah lumayan menjanjikan karena jumlah wisatawan rohani dan pegawai migran Indonesia cukup besar. Sejauh ini, cara pemasaran produk masakan tradisional kalengan tersebut melalui biro umrah dan haji.
Teknologi pengemasan makanan kaleng khususnya masakan tradisional Nusantara dalam kaleng ini menjawab harapan Presiden Joko Widodo yang salah satunya punya target memiliki teknologi pengemasan makanan yang bisa mengawetkan makanan lebih dari enam bulan.
“Dari sini sudah terjawab ya, sudah ada yang lebih dari satu tahun dan segmennya juga makanan tradisional. Jadi sesuai harapan Presiden,” ujar Satriyo.
Sumber: Inovesia majalah Inovasi Indonesia Triwulan I, Januari-Maret 2020
Oleh : Virna & Sri Partini , Foto : Anggun, Diky, Humas BPTBA