NEWS:

  • Sukseskan Moto GP Mandalika, Rivan Purwantono dan Kakorlantas Polri Cek Kesiapan Pengamanan Personel
  • Jasa Raharja Raih Penghargaan Transformasi Layanan Publik dalam Ajang Inovasi Membangun Negeri
  • Jasa Raharja Jamin Seluruh Korban Kecelakaan Bus dan Truk di Pati (Jalur Pantura) 
  • RDP Bersama Komisi VI DPR RI, Rivan A. Purwantono Paparkan Sejumlah Inisiatif Strategis Jasa Raharja 
  • Unmul Kembangkan Wisata Di Kaltim Melalui Storytelling, Gelar FGD Hasil Penelitian

Guru Besar Lingkungan, Pembangunan, dan Perubahan Sosial Unmul, Prof. Dr Harihanto, MSSAMARINDA – Guru Besar Lingkungan, Pembangunan, dan Perubahan Sosial Unmul, Prof. Dr Harihanto, MS menilai kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur sudah tepat. Di dalam wawancara khusus dengan Warta Kaltim/Info Borneo di Sempaja Lestari Indah, Kota Samarinda. Sabtu (04/03/2023).

Prof. Harianto menyampaikan bahwa Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara saat ini sudah kurang memenuhi syarat : (1) jumlah penduduk Jakarta sudah terlalu banyak dan padat (“sangat padat” menurut SNI 03-1733-2004 tentang Klasifikasi Kepadatan Penduduk). Pada tahun 2020 kepadatan penduduk Jakarta  mencapai 16.704 jiwa/km2 (Baswedan, 2020). Angka ini  118 kali lipat dari angka rata-rata nasional akibat urbanisasi yang tinggi; (2) kualitas lingkungan fisik Kota Jakarta, terutama udara sudah sangat buruk, secara fisik nampak penuh “smog” (smoke and fog = kabut asap)  dengan konsentrasi PM 2.5  per 27 Januari 2022: 5.9 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO; (3) angka kriminalitas yang tinggi di Jakarta dengan Indeks Kriminalitas menempati urutan ke-21 di Asia dengan skor 53,7; namun pada tingkat nasional menduduki peringkat pertama (TIMESINDONESIA, JAKARTA, ttps://www.timesindonesia.co.id/tag/indeks-kriminalitas); (4)  Jakarta sering banjir, termasuk banjir kiriman dan banjir rob, akibat dari: (i) permukaan tanahnya turun 7,5 – 10 cm karena pengambilan air tanah oleh penduduk (Monardo, online, diunduh tanggal 10 Juni 2022), (ii) perilaku sebagian penduduknya yang sering membuang sampah ke sembarang tempat, sampah menyumbat saluran pembuangan air dan menumpuk di bagian hilir sungai (Anonim, 2022b), (iii) banjir kiriman dari wilayah sekitarnya (Jawa Barat dan Banten) yang topografinya lebih tinggi (Anonim, 2022c), dan (iv) pasang naik air laut. 

Lebih lanjut Dosen Fisip Universitas Mulawarman ini menjelaskan dengan memindahkan IKN ke Kalimantan Timur sekalgus dapat memeratakan distribusi penduduk; karena sampai tahun 2020 sekitar 60% penduduk Indonesia masih tinggal di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok (Jambal) yang luasnya hanya ± 6,6% dari luas total Indonesia (Harihanto, 2020). Sedangkan Provinsi Kalimantan Timur yang luasnya 129.066,64 km2 (Badan Pusat Statistik – BPS. 2022a) hanya berpenduduk 3,77 jiwa (Badan Pusat Statistik – BPS. 2022b) dengan kepadatan hanya 29,22 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik – BPS. 2022c). 

"Dampak dari pemindahan IKN tidak dapat dihindari, baik dampak positif maupun dampak negatif.  “Tapi dari identifikasi dan prakiraan saya lebih banyak dampak positifnya, terutama dampak pada aspek sosial.” Ungkapnya.

“Jika zonasi dan konsep Forest City dari pembangunan IKN betul-betul dapat diterapkan di lapangan saya kira dari sisi lingkungan fisik-biologi tidak terlalu akan terlalu banyak dampak negatifnya. Dengan syarat konsep tersebut betul-betul dilaksanakan secara konsisten sesuai rencana. Kenapa saya katakan demikian?. Karena berdasarkan pengalaman masa lalu banyak konsep atau gagasan pengelolaan dampak lingkungan yang bagus-bagus ternyata pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan yang seharusnya, dan tidak berhasil alias gagal. Entah di mana letak kesalahannya, pengawasan yang lemah? Tidak ada sanksi bagi pelanggar? Ada sanksi tapi tidak diterapkan, hanya di atas kerta?  Contoh paling kongkrit adalah konsep TPTI (Tebang Pilih dan Tanam ala Indonesia) pada Era HPH (Hak Pengusahaan Hutan)".

"Secara teoretis konsep tersebut jelas bagus, bahkan konon konseptornya Prof. Ishemat Soerianegara dari IPB mendapat penghargaan internasional. Jika konsep tersebut betul-betul diterapkan di lapangan, saat ini hutan kita masih banyak, tidak menjadi “kehutanan yang maha gundul”.  Tetapi seperti yang telah saya sebutkan di atas, konsep tersebut ternyata gagal diterapkan di lapangan. Rupanya para pengusaha HPH merasa terlalu lama kalau harus menanami kembali bekas tebangan dan menunggu sisa tegakan. Habis menebang hutan bukannya menanami kembali bekas tebangan sesuai dengan ketentuan TPTI, tetapi menanam yang lain, yang lebih cepat menghasilkan. Sebagian lagi pengusaha HPH yang mencoba mencangkuli bekas tebangan untuk ditanami kembali sesuai ketentuan TPTI: “eh kok ada batubaranya, kalau gitu kita bongkar saja batubaranya”. Jadilah  “kehutanan yang maha gundul”, “padahal hutan sebagai SDA terbarukan mestinya bisa ada terus.” Lanjutnya.

Celakanya nasib konsep TPTI itu berlanjut di era penambangan batubara ini, di mana banyak lubang bekas penambangan batubara yang tidak  direklamasi sesuai dengan ketentuan; yang selain merusak lingkungan juga menimbulkan banyak korban jiwa anak-anak yang tenggelam ke dalamnya.  Mudah-mudahan konsep Forest City di IKN ini tidak bernasib sama dengan konsep TPTI. Saya berkata demikian karena belum-belum sudah ada suara miring berkaitan dengan penyusunan Amdal di salah satu Kawasan di dalam IKN itu.

Menurut pengamatan saya selama ini, proyek pembangunan seperti itu ternyata tidak terlepas dari kepentingan kelompok dan pribadi manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Pernah ada proyek pembangunan fisik milik pemerintah yang belum mempunyai IMB dan Izin Lingkungan tetapi kegiatan fisiknya sudah dimulai. Padahal sesuai dengan ketentuan mestinya harus dilengkapi dengan IMB dan Izin Lingkungan. Izin Lingkungan belum dimiliki karena Dokumen Lingkungan sebagai dasarnya sedang disusun, belum selesai. Memang kebetulan sesuai dengan jabatannya, pemegang kewenangan untuk mengeluarkan Izin Lingkungan itu adalah pemrakarsa proyek yang bersangkutan (berdasarkan Dokumen Lingkungan yang sedang disusun oleh konsultan). Jadi ibaratnya seperti “jeruk makan jeruk”.

Namun sebagai proyek pemerintah seharusnya pemrakarsa proyek memberikan contoh yang baik – taat kepada peraturan, mengikuti prosedur. Celakanya, menurut suara yang beredar di luar, hal itu terjadi karena  pemborong pekerjaan proyek sudah “menyetor duluan”, sedangkan posisi pemrakarsa proyek sudah di akhir masa jabatan.  Tindakan ini seperti memberi kepastian kepada pemborong supaya tidak kawatir (ketar-ketir) – “ya ini lo tak kasihkan kamu proyek-ku, kalau kamu nggak percaya” (begitulah kira-kira). Tetapi di media massa beritanya dibikin bagus “Di akhir jabatan pak Anu proyek pembangunan Anu dikebut“. “Karena setorannya sudah duluan pak!”, celetuk teman saya, karyawan perusahaan kontraktor yang biasa mengawasi pelaksanaan proyek pemerintah di lapangan.  Sahutan teman ini mengagetkan saya sebagai orang awam yang berfikir “yang namanya setoran seperti itu( kalaupun memang ada) ya setelah pemborong menerima pembayaran termin terkhir lah, eh hitung-hitung kok  masih ada sisa, pak Anu, yang punya proyek saya kasihnya ah” (begitulah fikiran saya).       

Sebagai kota yang dirancang sejak awal dengan membaginya menjadi beberapa zona (berbeda dengan Jakarta dan Samarinda yang berasal dari kampung/pemukiman), maka jika zonasi itu betul-betul dapat diterapkan di lapangan, maka dampak negatif pada aspek social, khusunya pada tahap operasi dapat dikurangi. Pada Zona Inti Pemerintahan misalnya harus diawasi hanya orang-orang yang betul-betul bekerja dan terkait dengan pemerintahan saja yang boleh dan dapat tinggal di sana; dan setelah purna tugas harus ke luar.    

Hasil identifikasi beliau menunjukkan lebih banyak dampak positif dibanding dampak negatifnya dari rencana pemindahan IKN ini, terutama dampak pada aspek sosial. Setidaknya ada sembilan dampak positif dan hanya tiga dampak negatif. Berikut adalah daftar dampak itu (mulai  dari  tahap konstruksi, karena proyek sudah memasuki tahap konstruksi):

Dampak Positif:

Dampak positif akan terjadi yaitu:

1. Meningkatnya perekonomian lokal dan regional, karena semakin banyak uang yang beredar di daerah ini (terserapnya produk lokal karena semakin banyak orang, dan semakin beragamnya profesi bagi warga lokal untuk melayani penduduk yang semakin banyak).

2. Meningkatnya kualitas SDM lokal melalui adopsi nilai-nilai positif (rajin, terampil, tidak pilih-pilih pekerjaan, dan sebagainya) yang biasanya dibawa oleh pendatang dan diserap oleh penduduk lokal, sehingga cakarawala pandang penduduk lokal menjadi lebih luas.

3. Meningkatnya nilai/harga tanah, karena semakin banyak orang. Dampak ini menguntungkan bagi penduduk lokal yang umumnya memiliki banyak tanah.

4. Meningkatnya prasarana dan sarana wilayah sebagai dampak langsung, misalnya jalan, jembatan, bandara, dan lain-lain yang bagaimanapun akan menghubungkan IKN dengan wilayah lain di sekitarnya.

5. Meningkatnya fasilitas umum dan fasilitas sosial sebagai dampak langsung, misalnya pasar, toko, dan lain-lain karena semakin banyak orang.

6. Terciptanya pola nafkah ganda bagi penduduk lokal, semakin banyak penduduk lokal yang mengenal dan mempunyai pekerjaan sambilan, misalnya berjualan barang kebutuhan sehari-hari, menyewakan kamar atau rumah kos kepada pendatang, dan lain-lain.

7. Bertambahnya jumlah dan jenis kegiatan ekonomi non-formal di dalam bentuk perdagangan kecil-kecilan – pedagang asongan, pedagang kaki lima, pasar malam.

Dari aspek ketertiban umum, usaha seperti ini memang sering mengganggu ketertiban umum. Inilah yang harus diantisipasi oleh pemerintah setempat dengan mengakomodirnya, mengarahkan, dan  memberikan ruang; karena bagaimanapun sektor ini dikenal sebagai “katup pengaman” saat terjadi krisis ekonomi.

8. Meningkatnya aksesibilitas wilayah sebagai dampak sekunder dari meningkatnya prasarana dan sarana wilayah. Hubungan antar wilayah di daerah ini semakin mudah dan cepat.

9. Semakin meratanya distribusi penduduk (dampak nasional), karena akan semakin banyak pendatang termasuk dari pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok (Jambal) yang sampai tahun 2020 masih dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia, yakni sekitar 60%; sedangkan luas keempat pulau itu hanya 6,6% dari seluruh luas wilayah Indonesia (Harihanto, 2020:2).

Dampak Negatif

Sedangkan dampak negatif yang terjadi yaitu:

1). Mendorong terjadinya migrasi/urbanisasi dari luar ke IKN dan wilayah sekitarnya.

Sebenarnya dampak ini juga mempunyai  sisi positif dilihat dari kepentingan wilayah di sekitar IKN, termasuk Kaltim yang jumlah dan kepadatan penduduknya masih tergolong “sangat rendah”, tapi sedang giat membangun dan memerlukan tenaga kerja.  

2). Terjadinya konflik sosial akibat perbedaan kepentingan dan latar-belakang budaya antara pendatang dan penduduk lokal. Selama ini telah banyak migran spontan yang dating ke daerah ini tapi relatif tidak pernah terjadi konflik, yang pernah terjadi di Kalimantan Tengah (kasus Sampit, Februari 2001) (https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=Kasus+Sampit), dan di Kalimantan Utara antara Suku Tidung (penduduk asli) dengan Suku Bugis pendatang dari Sulawesi Selatan pada September 2010 (https:// id.wikipedia .org/wiki/Kerusuhan_Tarakan). 

@2023- Cindy Elysa



NEXT

WARTA UPDATE

« »