NEWS:

  • Sukseskan Moto GP Mandalika, Rivan Purwantono dan Kakorlantas Polri Cek Kesiapan Pengamanan Personel
  • Jasa Raharja Raih Penghargaan Transformasi Layanan Publik dalam Ajang Inovasi Membangun Negeri
  • Jasa Raharja Jamin Seluruh Korban Kecelakaan Bus dan Truk di Pati (Jalur Pantura) 
  • RDP Bersama Komisi VI DPR RI, Rivan A. Purwantono Paparkan Sejumlah Inisiatif Strategis Jasa Raharja 
  • Unmul Kembangkan Wisata Di Kaltim Melalui Storytelling, Gelar FGD Hasil Penelitian

SAMARINDA- Sejarah panjang isu pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta dimulai sejak Presiden Pertama Soekarno, yang akhirnya diwujudkan Presiden Joko Widodo dengan konstruksi Indonesia Sentris.

Hal ini dijelaskan oleh Sejarawan Muhammad Sarip ketika di temui dalam wawancara khusus beberapa waktu lalu di Samarinda.

“Di zaman pemerintahan presiden Joko Widodo, konsep pemindahan ibukota bukan hanya memindahkan secara fisik, tetapi juga mengedepankan konsep pemerataan pembangunan secara menyeluruh dan semakin merekatkan konsepsi negara kesatuan. Tujuannya tentu saja untuk menghilangkan kesenjangan antar masyarakat di Indonesia sehingga perlu dikonstruksi pembangunan yang bersifat Indonesia Sentris,” ungkap M Sarip

Dibentuknya konsep Indonesia Sentris, tidak terlepas dari pengalaman di masa lampau ketika ibu kota Indonesia saat ini “Jakarta”, merupakan kelanjutan atau warisan dari zaman kolonial. Lebih spesifik merupakan warisan dari VOC dan Hindia Belanda yang memusatkan pemerintahan di daerah yang dulunya bernama Sunda Kelapa. Karena pada tahun 1945 saat Indonesia kali pertama terbentuk, masih mengalami berbagai macam masalah yang lebih mendesak, maka pada saat itu diputuskan untuk melanjutkan birokrasi ibu kota dari zaman kolonial.

Menurut keterangannya, setelah mendapatkan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda dan juga negara-negara di forum internasional pada tahun 1949. Kemudian selang tujuh tahun presiden Soekarno berpikir untuk membangun ibukota yang baru, yang lepas dari bayang-bayang kolonialisme, oleh karena itu beliau akhirnya mencetuskan ide untuk menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota baru.

“Pada waktu itu belum ada konsep Indonesia-sentris dalam konteks pembangunan infrastruktur. Saat itu ditonjolkan yang penting anti Belanda/Kolonialisme. Cuma pada waktu itu ide pemindahan ibu kota tidak terlaksana karena masih banyak pergolakan politik seperti isu Demokrasi Terpimpin, Komando Dwikora, Ganyang Malaysia, Ganyang Nekolim dan sebagainya, sehingga ide membangun ibu kota tenggelam. Sempat muncul kembali wacana pemindahan ibu kota negara pada zaman orde baru, yang digagas oleh Presiden Soeharto pada tahun 1997, tetapi akhirnya tetap sama ide tersebut tidak sempat direalisasikan. Begitu juga saat periode Presiden SBY,” jelas Sarip. 

Lanjut, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari kalangan masyarakat merasa bahwa pembangunan di Indonesia ini hanya berfokus di Jakarta dan Jawa saja. Kemudian ditambah pada zaman orde baru semua keuntungan hasil alam di seluruh wilayah Indonesia, disedot dan dipergunakan sebanyak-banyaknya hanya di Jakarta dan Jawa sehingga menyebabkan kesenjangan sosial yang sangat besar antara pusat dan daerah lain makanya muncul istilah Jawa Sentris.

“Pihak pemerintah dan elemen masyarakat harus menyadari, meskipun pemindahan ibu kota ke Kalimantan, jangan sampai konsepnya jadi sentral Kalimantan karena hal tersebut akan mengulangi kesalahan yang sama. Karena jika seperti itu Sumatera juga bisa meminta hal yang sama, Sulawesi dan daerah-daerah lain juga sama, punya hak untuk dijadikan sebagai ibu kota negara”, tutur Sarip.

Lanjut Sarip, menjelaskan kalau dicermati UU IKN dan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah, ibu kota itu sebenarnya dalam UU tidak ada kalimat atau ada frasa yang menyatakan ibu kota di Kalimantan Timur. Ibu kota itu namanya Nusantara sebagai daerah khusus tersendiri, bukan lagi bagian dari Kaltim. Namun, karena faktor kedekatan geografis maka Kaltim menjadi penyangganya.

“Jadi, dengan visi politik untuk mempersatukan Indonesia, makanya dibuat konsep Indonesia-sentris”, ungkap Sarip.

Sebagai penutup, Sarip menyarankan ketika istana negara sudah berdiri dan difungsikan, ia mengusulkan agar tujuh prasasti yupa yang masih disimpan di Museum Nasional Jakarta, bisa diangkut ke Ibu Kota Nusantara karena tujuh batu bertulis aksara Pallawa berbahasa Sanskerta tersebut merupakan bukti tonggak awal sejarah peradaban Nusantara. Sebagaimana pelajaran sejak SD, sejarah awal atau titik nol dimulainya masa sejarah Nusantara adalah saat dibuatnya tulisan yang diukit di prasasti yupa. Prasasti yupa ditemukan di Muara Kaman, tanah Kutai pada 1879, dan segera diangkut ke Batavia untuk penelitian. Sekarang penelitian tentang aksara dan inskripsinya sudah tuntas dan telah diketahui apa yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, seiring dengan momentum pemindahan Ibu Kota Nnusantara, sebaiknya simbol awal peradaban Nusantara itu dibawa kembali ke bumi tempat kemunculannya yaitu tanah di timur Kalimantan.

Muhammad Sarip merupakan Putra Kalimantan Timur pertama yang menerima Sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah kualifikasi Penulis Sejarah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); Penulis buku sejarah ada delapan buku , empat publikasi jurnal dan prosiding, serta puluhan artikel media bertema sejarah lokal Kalimantan Timur

Warta Kaltim @2023 -Reynaldy


Mencari Sumber Alternatif Dana Pembangunan IKN
Kamis, 18 Agustus 2022
By OPINI

NEXT

WARTA UPDATE

« »