NEWS:

  • Hadiri Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin 2024, Jasa Raharja Sampaikan Komitmen Dukung Upaya Strategis Seluruh Stakeholder
  • Terlibat Aktif dalam Posko Terpadu Angkutan Nataru 2024, Dewi Aryani Suzana Sampaikan Peran Kurusial Jasa Raharja
  • Jasa Raharja Sampaikan Kesiapan Pengamanan Nataru dalam Rakor Lintas Sektoral
  • Hasil Riset Unmul Di implementasi Oleh Perusahaan Tambang Batu Bara dan Migas Untuk Tercapainya SDG
  • ESDM Kaltim, Perusahaan Migas dan Pertambangan Dukung SDGs Expo dan Awards 2025

Oleh: Harihanto

Guru Besar Fisipol Unmul, Pengampu Mata Kuliah Sosiologi Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi

HarihantoSalah satu Teori Sosiologi Korupsi menyatakan bahwa “untuk mengurangi Korupsi, Kekuasaan harus didistribusikan” karena penentu (determinan) korupsi adalah “Kesempatan” yang biasanya diperoleh dari kekuasaan. Selain itu, kekuasaan itu sendiri juga cenderung korup seperti yang dinyatakan oleh Lord Acton (1833 - 1902). Dengan mendistribusikan kekuasaan berarti mengurangi kekuasaan agar tidak terpusat pada seseorang atau satu lembaga tertentu atau tingkat pemerintahan tertentu; dan dengan demikian diharapkan dapat mengurangi korupsi.

Pasca Orde Baru (Orba), sejak 1999 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004, dan yang terakhir adalah UU No. 9 tahun 2015), Pemerintah Pusat telah memberikan otonomi yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota) dibanding pemerintahan sebelumnya (Orba).  Pada masa pemerintahan Orba, selama 1965 – 1974 belum ada UU tentang Pemerintahan Daerah; dan selama 24 tahun (1974 – 1998) walau sudah ada UU tentang Pemerintahan Daerah, yakni UU No. 5 tahun 1974; tetapi daerah masih kurang diberi otonomi. Di dalam konsideran UU tersebut disebutkan bahwa UU tersebut hanya diarahkan untuk: (1) penyeragaman pemerintahan daerah (huruf c), (2) membagi wilayah NKRI atas daerah besar dan daerah kecil (huruf d), (3) menjamin perkembangan dan pembangunan daerah (huruf e), dan (4) terselenggarnya pemerintahan daerah berdasarkan azas tugas pembantuan (huruf f).  Jadi Pemerintah Daerah hanya sebagai “Pembantu” Pemerintah Pusat.

Melalui UU No. 22 tahun 1999 Pemerintah Pusat mulai memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah. Otonomi tersebut menyangkut hak, wewenang, dan kewajiban daerah (otonom) untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat; semua urusan pemerintahan adalah urusan pemerintah daerah, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Jika dikaitkan dengan Teori Sosiologi Korupsi yang disebutkan di atas, pemberian otonomi kepada daerah ini merupakan salah satu bentuk “pendistribusian kekuasaan” dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Walau secara tersurat seperti yang disebutkan di atas tujuan Pendistribusian Kekuasaan itu tidak untuk mengurangi korupsi, namun pendistribusian kekuasaan itu secara teoretik mestinya dapat mengurangi korupsi, setidaknya korupsi di tingkat Pemerintahan Pusat, seperti yang dinyatakan oleh teori itu. Namun apa daya, ternyata hal itu tidak terjadi, korupsi di kalangan pejabat Pemerintah Pusat tidak berkurang, bahkan malah meraja-lela seperti yang telah saya tulis di dalam Warta Kaltim edisi 10 Januari 2024; karena para pelakunya sudah berniat, dengan pertimbangan hukumannya relatif ringan dibanding “keuntungan”-nya. Pendistribusian kekuasaan tersebut tampaknya justru “mendistribusikan juga” korupsi dari pusat ke daerah (saya pernah menyampaikan hal ini kepada salah seorang anggota DPRD Prov. Kaltim di dalam kesempatan informal, dan yang bersangkutan manggut-manggut sambil menirukan ucapan saya). Buktinya semakin banyak Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terakhir adalah ditangkapnya Bupati Labuhan Batu oleh KPK, dengan dugaan menerima hadiah terkait proyek pengadaan barang dan jasa (Kompas.Com, 12 Januari 20124). Walau yang bersangkutan belum dinyatakan besalah oleh Pengadilan, namun biasanya Hakim menyatakan bahwa para tersangka korupsi hasil OTT KPK memang bersalah. Sebelumnya (untuk tingkat Gubernur) adalah ditangkapnya Gubernur Papua Lukase nembe nopo oleh KPK, dengan dugaan yang sama, yakni menerima suap dan gratifikasi (Kompas.Com, 15 Januari 2023). Yang bersangkutan divonis delapan tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) (Kompas.Com, 27 Oktober 2023).

Korupsi oleh Kepala Daerah pada masa Otonomi Daerah seperti itu terjadi karena Kepala Daerah memilik kekuasaan lebih dibanding pada masa sebelumnya. Jadi pernyataan Lord Acton bahwa “Kekuasaan Cenderung Korup” tampaknya berlaku secara universal, termasuk di Indonesia karena didukung oleh fakta. Selain itu, secara tidak langsung Kekuasaan yang dimiliki  oleh para Kepala Daerah itu telah melahirkan “Kesempatan” bagi meraka untuk melakukan Korupsi. Jadi kedua faktor ini bekerja-sama dan saling memperkuat bagi terjadinya tindak Korupsi oleh para kepala Daerah. Dilihat dari Analisis Jalur, “Kekuasaan” dan “Kesempatan” ini masing-masing dapat mempengaruhi secara langsung terhadap “Tindak Korupsi” oleh para Kepala Daerah. Selain itu “Kekuasaan” juga dapat mempengaruhi “Tindak Korupsi” oleh Kepada Daerah melalui “Kesempatan” sebagai “Peubah Antara”. Sebaliknya, Teori yang menyatakan bahwa “untuk Mengurangi Korupsi, Kekuasaan harus Disitribusikan”, lagi-lagi sepertihalnya Teori yang menyatakan bahwa “Korupsi Seringkali Merupakan Penyakit Transisional” ternyata tidak didukung fakta dan data di Indonesia.    

Warta Kaltim @2024-Jul 

Baca Juga...

NEXT

WARTA UPDATE

« »