NEWS:

  • Dukung Kemandirian Ekonomi Desa: Kolaborasi Dosen Gizi dan Farmasi UNMUL Ciptakan Inovasi Tepung Buah Nipah Tua
  • Jasa Raharja Jamin Seluruh Penumpang Minibus yang Mengalami Kecelakaan di Tol Pasuruan-Probolinggo
  • Terus Optimalkan Pelayanan Digital Kepada Korban Kecelakaan, Jasa Raharja Gelar Industrial Symposium Bersama PERSI Dengan Penganugerahan ”JRCare Award 2024” Bagi Rumah Sakit dengan Pelayanan Terbaik
  • KPAD dan DKP3A Kaltim Inisiasi Materi Dasar KIE Kepro Remaja yang Bebas Pornografi dan Erotisme
  • Gelar Seminar Nasional Bersama MTI, Rivan A. Purwantono Paparkan Langkah Inovatif Jasa Raharja Tingkatkan Pelayanan dan Tekan Kecelakaan 

Oleh: Harihanto

Guru Besar Fisipol Unmul, Pengampu Mata Kuliah Perencanaan Sosial, Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan  

Pendahuluan

HARIANTO DOSEN FISIP UNMULPemberian subsidi oleh pemerintah kepada warga tidak mampu (miskin) untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup mereka melalui berbagai bentuk (bantuan langsung tunai/BLT, bantuan sosial/BANSOS, subsidi harga, makan gratis, dan lain-lain) secara teoretik sudah tepat. Karena di dalam masyarakat selalu terdapat warga yang tidak dapat aktif terlibat di dalam kegiatan pembangunan; sehingga mereka tidak dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Merek itu misalnya adalah orang jompo yang tidak mempunyai sanak-saudara dan tinggal “menunggu panggilan”, orang cacat permanen, dan sebagainya. Karena “tetesan ke bawah” (trickledown effect) dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi seperti yang dilaksanakan oleh  negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dubuuia II termasuk Indonesia, tidak terjadi. Kalaupun terjadi tidaklah merata, tetesan itu tidak mengenai kelompok yang disebut di atas. Oleh karena itu, kepada mereka pemerintah memberikan subsidi di dalam bentuk seperti yang disebut di atas.

 Akan tetapi di tingkat pelaksanaan, secara empirik-faktual pemberian subsidi ini sering terjadi penyelewengan. Warga bukan kelompok sasaran ikut pula meminta dan memanfaatkan fasilitas bagi orang miskin itu. Seorang dokter Puskesmas melaporkan kepada kami selaku Tim Pemantau Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Provinsi Kal-Tim pada masa Presiden SBY bahwa ada seorang ibu datang ke Puskesmasnya minta dilayani menggunakan fasilitas orang miskin. Padahal ibu tersebut memakai banyak gelang emas dan menggegam HP. Sang dokter bertanya “jadi ibu ini orang miskin?”, ketika ditanya begitu sang ibu langsung marah, karena dicap sebagai orang miskin, kata sang dokter. Karena dicap sebagai orang miskin tidaklah enak. Demikian pula terhadap BLT dan BANSOS, mereka yang datang ke Kantor Pos untuk mengambilnya banyak yang menggunakan sepeda motor, artinya tidak tergolong miskin. Sebaliknya BLT dan BANSOS yang dibagi melalui aparat tingkat bawah (aparat desa dan Ketua RT) sering diselewengkan oleh petugasnya (baca berita di media masa dan medsos). Mereka yang bukan kelompok sasaran program diberi juga oleh aparat yang membagi, karena ada hubungan keluarga misalnya; atau bahkan aparat pembagi itu sendiri juga meminta “bagian”.

Kebijakan pemberian subsidi kepada kelompok miskin tersebut merupakan bentuk pelaksanaan “azas pemerataan hasil-hasil pembangunan” yang ternyata tidak dinikmati oleh kelompok yang tidak dapat aktif terlibat di dalam kegiatan pembangunan yang disebutkan di atas. . Oleh karena itu para ahli kemudian mengoreksi bahwa pembangunan seperti itu harus diubah dan diganti dengan pembangunan yang berorientasi pada “manfaat sosial” (social benefit), yang mereka namakan “Perencanaan Sosial”.

Sisis Positif (Plus) Kebijakan Pemberian Subsidi

Bahwa pemberian subsidi kepada warga miskin “sudah tepat” seperti yang disebutkan di atas merupakan salah satu sisi positif (plus) dari kebijakan ini.

Sisi poisitf lainnya dari kebijakan pemberian subsidi kepada warga miskin (mengutip OCBC NISP, 6 Oktober 2023) adalah: (1) mencegah kemiskinan, (2) mengurangi kriminalitas, (3) memperlancar kegiatan konsumsi di kalangan masyarakat, dan (4). memperkenalkan teknologi kepada warga miskin secara mudah. 

Sisi positif nomor (1) di atas tidaklah selalu terjadi; apa lagi kalau subsidinya berupa bantuan langsung konsumsi, beras misalnya; kecuali jika subsidinya berupa bantuan modal misalnya. Selain itu yang diberi subsidi ini adalah warga yang sudah tergolong miskin; sehingga penerapan istilah “mencegah kemiskinan” kurang tepat; karena yang namanya mencegah itu mestinya sebelum terjadi agar tidak terjadi. Apa lagi kalau “mencegah kemiskinan” itu dikatakan oleh OCBC sebagai “fakta” yang merujuk kepada “tujuan” pemberian subsidi itu; dengan penjelasan selengkapnya Sebagai berikut: “Manfaat subsidi bagi masyarakat adalah mencegah kemiskinan. Faktanya, subsidi adalah bantuan pemerintah yang dikeluarkan dengan tujuan mencegah masyarakat mengalami kondisi kritis, seperti kelaparan, menjual aset, tidak bekerja, dan sebagainya”. Sedangkan yang Namanya “tujuan” belum tentu tercapai, jadi bukan “fakta”.

Sisi positif yang ke dua realistis dan rasional, karena salah satu penyebab terjadinya tindak kriminalitas adalah kemiskinan, yang dilakukan oleh warga miskin karena “terpaksa” guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Walau kemiskinan bukan merupakan satu-satunya penyebab; karena tidak ada satupun feonomena sosial yang hanya ditentukan oleh satu faktor.

Demikian pula sisi positif yang nomor (3) juga realistis-rasional; karena dengan subsidi yang diperoleh, warga miskin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama jika subsidinya berupa bafang konsumsi seperti beras tadi, atau uang yang dapat dibelanjakan.

Sisis positif yang terakhir realistis-rasional jika subsidinya berupa bantuan alat produksi bagi warga miskin yang bergerak di bidang usaha produksi kecil-kecilan misalnya.    

Sisi Negatif (Minus) Kebijakan Pemberian Subsidi

Selain sejumlah sisi positif dari kebijakan pemberian subsidi oleh pemerintah seperti yang telah dideskripsikan di atas, yang intinya adalah sudah “tepat” dengan berbagai argumentasinya; kebijakan ini secara teoretik maupun empirik-faktual ternyata juga banyak sisi negatifnya seperti yang dideskripsikan di bawah ini.

Sisi Negatif dari Aspek Politik 

Secara empirik-faktual (amati di lapangan dan baca berita di berbagai media) pemberian subsidi seperti itu sering digunakan sebagai alat politik dengan mengatas-namakan golongan politik tertentu, terutama yang sedang berkuasa, khususnya menjelang pemilihan umum.  Walaupun tidak menyebut secara eksplisit nama golongannya, tapi jika yang menyerahkan/membagi subsidi itu pejabat publik yang sedang memegang kekuasaan, rakyat/penerima subsidi pasti tahu dan menyimpulkan “oh pejabat/orang itu baik, nanti kalau dia mencalonkan lagi atau calon dukungannya akan saya coblos”, begitu kira-kira. Pernah ada warga di  suatu kabupaten yang berkata “bupati sata orangnya baik, saya kalau lebaran ke rumahnya diberi uang 200 ribu”. Padahal bupati itu tidak lama berselang “disekolahkan lagi oleh KPK, karena sekolahnya dianggap kurang, belum pernah mengikuti kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”. Apa lagi orang-orang miskin/penerima subsidi itu baru sampai di situ pengetahuannya, akibat kemiskinan absolut yang disandangnya – miskin pendidikan, miskin pengetahuan, miskin ekonomi, dst.

Sisi Negatif dari Aspek Sosial

Sisi negatif dari aspek sosial seperti yang telah dideskripsikan di atas adalah bahwa orang pasti tidak suka kalau disebut sebagai orang “miskin”, dan orang yang disubsidi itu konotasinya adalah orang miskin. Tetapi kalau ada bantuan/subsidi, sesuatu yang gratis, semua mengaku ikut minta bagian.

Sisi Negatif dari Aspek Lingkungan Hidup

Sisi negatif dari pemberian subsidi yang akan dipaparkan di bawah ini lebih bersifatb teoretik-normatif; namun tidak menutup kemungkinan telah terjadi secara empirik-faktual di lapangan; karena tidak mudah dilihat.  Guna memastikan kejadiannya harus dilakukan penelitian secara saksama.

Pemberian subsidi harga pupuk kepada petani misalnya, dapat mendorong petani menggunakan pupuk agak berlebih dari dosis normal, karena dirasa harganya relatif murah; dengan harapan tanamannya menjadi lebih subur dan produksinya lebih banyak. Akibatnya ada pupuk yang tidak terserap oleh tanaman dan menjadi sisa/residu. Sisa pupuk ini  kemudian terbawa aliran air dan masuk ke badan air seperti sungai atau danau yang posisinya lebih rendah dari lahan pertanuian di sekitarmya. Akibatnya badan air tersebut mengalami “penyuburan” (eutrofikasi), yang ditandai dengan meledaknya populasi gulma air (aquatic weeds), misalnya “eceng gondok” (Eichornia crassipes) seperti yang sering terlihat menutupi permukaan sungai atau danau. Setidak-tidaknya penggunaan pupuk berlebih ini dapat mempercepat terjadinya eutrofikasi. Lund (1972) menyatakan bahwa eutrofikasi dapat dipercepat oleh air larian dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk. Akibat lebih lanjut adalah berkurangnya penetrasi sinar matahari yang bisa menurunkan produktivitas perairan dan mempengaruhi kehidupan hewan di dalam air. Pada saat gulma air itu mati akan terjadi deplesi oksigen yang terlarut di dalam air, karena banyak oksigen yang dibutuhkan untuk proses pembusukan (dekomposisi) bahan organik di dalam gulma. Keadaan ini dapat mempengaruhi kehidupan hewan di dalam air, termasuk ikan, dan menimbulkan bau busuk (di Sungai Mahakam dan anaka-naknya dikenal sebagai air “Bangar”, baca Sestiani di dalam Tribun Kaltim 7 Agustrus 2023) akibat terbentuknya gas sulfida (H2S) dan amonia (NH3) dalam proses ini (Lund, 1972). Eutrofikasi merupakan salah satu efek yang tak diinginkan (Hutchinson, 1973), di samping meningkatnnya muatan terlarut (Goudie, 1981), salinasi (air menjadi asin) dan memburuknya pasokan air untuk masyarakat (Conacher, 1979).

Analog, pemberian subsidi kepada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat menyebabkan warga menggunakan BBM secara berlebih/boros karena dirasa harganya relatif murah. Akibatnya emisi karbon (CO2) ke udara dari kendaraan bermotor meningkat/berlebih; dan menyebabkan konsentrasinya di udara melebihi konsentrasi alaminya. Akibatnya lebih lanjut adalah meningkatnya suhu bumi, karena gas karbon merupakan salah satu gas rumah kaca, selain gas rumah kaca lainnya (metana, sulfur dioksida, nitrogen monoksida, nitrogen dioksida, dan freon yang sudah dilarang penggunaannya). Sinar matahari dapat menembusnya mencapai bumi, tapi sinar pantulnya yang lemah tidak semuanya dapat menembusnya kemballi ke atmosfir. Jadi gas itu seolah-olah berlaku sebagai cungkup kaca yang melingkupi bumi. Cungkup kaca ini sering digunakan di dalam percobaan di bidang pertanian, khususnya yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman untuk mengendalikan suhu di dalamnya. 

Penulis: Harihanto. Guru Besar Fisipol Unmul, Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan  Pengampu Mata Kuliah Perencanaan Sosial

Warta Kaltim @2024-Jul 

Baca Juga...

 

NEXT

WARTA UPDATE

« »