NEWS:

  • Survei Kesiapan Nataru, Jasa Raharja, Korlantas Polri, dan Stakeholder Terkait Matangkan Rekayasa Lalu Lintas di Jawa Tengah
  • Pastikan Kesiapan Operasi Lilin Lodaya 2024, Jasa Raharja dan Korlantas Polri Survei Jalur Nataru di Jawa Barat
  • Penuhi 64 Kriteria, Jasa Raharja Terima Sertifikasi SMK3 dari Kemnaker RI
  • Jasa Raharja Pastikan Seluruh Korban Kecelakaan Beruntun yang Libatkan Truk Trailer di Semarang Terjamin Santunan
  • Kembangkan Desa Wisata Berkeselamatan, Jasa Raharja Luncurkan Program Beta-JR di Desa Karangrejek

HARIANTO 250Oleh: Harihanto

Guru Besar Fisipol Unmul, Pengampu Mata Kuliah Sosiologi Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi

Di dalam tulisan ini, korupsi yang dimaksud terutama adalah korupsi yang terjadi selama masa reformasi – setelah berakhirnya masa Orde Baru (Orba) sampai saat ini . Salah satu teori Sosisologi Korupsi menyatakan bahwa “korupsi seringkali merupakan penyakit transisional”. Transisi yang dimaksud terutama adalah transisi pemerintahan, karena pada masa transisi pemerintahan biasanya terjadi chaos (kekacauan), dan pemerintahan belum stabil. Oleh karena itu orang (pejabat, pemegang kekuasanaan) memanfaatkan kekacauan itu untuk melakukan korupsi, dengan harapan (terutama) tidak akan terdeteksi, tidak akan diurusi. Jadi teori ini sangatlah rasional.    

Di Indonesia, masa transisi pemerintahan seperti itu terakhir kali terjadi sekitar tahun 1998 (tahun jatuhnya rezim Orba), yakni antara 1998 sampai 2004, sebagai masa transisi dari pemerintahan Orba ke orde saat ini yang disebut sebagai Orde Reformasi atau Orde Demokratisasi. Disebut Orde Demokratisasi karena masyarakat merasa bahwa kondisi saat ini lebih demokratis dibanding pada masa Orba. Salah satu bukti yang mereka gunakan untuk mengklaim demikian adalah bahwa saat ini Indonesia kembal ke Sistem Multi Partai seperti pada masa Orde Lama. Melalui Sistem ini masyarakat merasa memiliki hak untuk berdemokrasi. Melalui Sistem ini mereka ramai-ramai mendirikan partai sebagai sarana untuk merealisasikan hak politiknya, baik hak memilih mapun hak untuk dipilih sebagai pejabat publik. Partai digunakan sebagai perahu untuk menuju ke “sana”, ke jabatan publik.

Kembali ke masa transisi pemerintahan. Yang disebut masa transisi umumnya berlangsung sebentar, tidak selama masa pemerintahan yang normal. Dengan demikian yang dapat dianggap sebagai masa transisi dari pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi adalah masa pemerintahan BJ. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), masa pemerintahan Gur Dur (20 Oktober 199 - 23 Juli 2001, dan masa pemerintahan Megawati (2001 - 2004). BJ. Habibie sebagai wakil presiden melanjutkan pemerintahan Presiden Soeharto yang jatuh akibat Revolusi Rakyat (Peoples Power). Megawati melanjutkan pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), yang walau terpilih secara demokratis juga tidak berlangsung sampai satu periode, karena kasus Bulog Gate. Jadi masa yang dapat dianggap sebagai masa transisi dari pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi adalah sekitar 6,5 tahun (dari pertengahan tahun 1998 sampai tahun 2004). Sesuai teori yang menyatakan bahwa “korupsi sering kali merupakan penyakit transisional” yang disebut di atas, mestinya korupsi hanya meraja-lela (nggak tahu lela itu raja dimana) pada masa-masa tersebut sebagai masa transisi pemerintahan. Tetapi faktanya korupsi di Indonesia masih (kalau tidak boleh dikatakan “justru”) meraja-lela sampai saat ini; masa yang tidak lagi dapat disebut sebagai masa transisi karena sudah 20 tahunan lebih dari jatuhnya Orde Baru pada 1998. Selain sudah berlangsung lama, pemerintahan berikutnya (setelah pemerintahan Megawati) sudah berlangsung stabil (mulai dari presiden Sby sampai sekarang). 

Dari perspektif Psikologi, meraja-lelanya korupsi di kalangan pejabat yang masih terjadi sampai saat ini tidak terlepas dari “niat” dari pelakunya. Mereka menggunakan partai yg mereka bentuk melalui Sistem Multi Partai sebagai perahu untuk ke “sana”, dengan niat untuk melakukan korupsi di sana, karena setelah sampai di “sana” mereka mempunyai kekusasaan yang dapat melahirkan kesempatan untuk melakukan korupsi. Karena Teori Sosilogi Korupsi yang lain menyatakan bahwa “penentu korupsi adalah kesempatan”, dan menurut Lord Acton (1987) “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak pasti korup (power tend to corrupt, and absolute power corrupts absolutely)”. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunhukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Ddaerah (DPRD) menduduki peringkat ke tiga sebagai penyumbang terbanyak tersangka kasus korupsi selama 2004 - 2023 (Kompas.com, 18/07/2023).   

Sistem multi partai itu tampaknya itu tampaknya dituntut oleh para pelaku Korupsi itu sejak awal masa reformasi, dengan tujuan sebagai sarana untuk membentuk “perahu” tadi. Namun mereka memproklamasikannya sebagai masa demokratisasi; mereka menggunakannya untuk menjustifikasi bahwa masa kini lebih demokratis dibanding masa Orde Baru. Klaim ini mereka gunakan untuk menutupi “niat” korupsi melalui partai sebagai “perahu”-nya tadi.

Merujuk kepada teori terbentuknya perilaku dari Fishbein dan Ajzen (1976), perilaku tertentu (termasuk perilaku korup) setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor, dua faktor di antaranya yang relevan dengan topik tulisan ini adalah: (1) keyakinan pelaku korupsi terhadap akibat dari perilakunya yang mungkin akan dia terima, dan (2) norma subyektif dari pelaku korupsi tentang perilakunya.

Jika dikaitkan dengan faktor yang pertama, dapat diartikan bahwa para pelaku korupsi itu yakin bahwa akibat yang akan mereka terima relatif ringan, terutama jika dibandingkan dengan “keuntungan” yang mereka dapat dari korupsi itu, hukumannya relatif ringan, tidak sampai dihukum mati. Begitu kira-kira keyakinan mereka. Toh setelah bebas dari penjara (itupun kalau betul-betul dipenjara) masih bisa menikmati hasil korupsinya. Pernyataan ini setidaknya didukung oleh pernyataan seorang bupati tersangka korupsi sebagai penghuni pertama rumah tahanan KPK yang terbaru (di Cipayung?). Saat pertama kali dimasukkan ke rumah tahan tersebut yang bersangkutan berujar: “bagus kok rumah tahanan KPK/penjaranya!” (DetikNews, 10 Oktober 2017). “Ya, sebagus apapun namanya juga rumah tahanan mbak, sayangnya sampeyan sebagai penghuni pertamanya”, gumam saya di dalam hati setelah secara tidak sengaja membaca judul berita itu di medsos. Ucapan sang bupati itu mengindikasikan bahwa korupsi yang dia lakukan betul-betul sudah dia “niati”, dan dia pasti sudah menghitung perbandingan antara “keuntungan” yang dia dapat dari hasil korupsi dengan hukuman yang akan dia terima, karena kalau tidak, dia pasti tidak akan ngomong begitu. Dia pasti sudah berhitung, bahwa kalau dia hanya menjadi bupati sampai akhir jabatanyapun dia tidak akan mendapat “doku” sebanyak yang dia dapat dari korupsi. “Kalau tidak, tentu yang bersangkutan tidak bilang begitu, karena sebagus apapun namanya juga rumah tahanan”, yang bagi orang normal pasti dihindari; kata saya kepada para mahasiswa di dalam kelas “Pendidikan Anti Korupsi”. 

Sedangkan jika merujuk kepada faktor yang ke dua, berarti para pelaku korupsi itu memandang bahwa korupsi yang mereka lakukan itu merupakan perilaku normatif, perilaku wajar. Orang lainpun jika mempunyai kesempatan pasti akan melakukan juga. Begitulah kira-kira norma subyektif yang berkembang pada dirinya. Oleh karena itu mereka berani melakukannya, dan korupsi semakin meraja-lela.

Ya, demikianlah kira-kira jawabannya mengapa korupsi di Indonesia pasca Orde Baru masih meraja-lela sampai saat ini, tidak hanya terjadi pada masa transisi dari masa pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi seperti yang dinyatakan oleh teori Sosiologi Korupsi yang disebut di atas. Dengan demikian tampaknya teori yang menyatakan bahwa “korupsi seringkali merupakan  penyakit transisional” tidak didukung oleh fakta dan tidak berlaku di Indonesia. 

Warta Kaltim @2024

Baca Juga...

NEXT

WARTA UPDATE

« »