NEWS:

  • Berhasil Capai Kinerja Unggul, Jasa Raharja Raih Penghargaan dari The Asian Post
  • Sudoyo Plt. Kepala BKKBN RI: Pembangunan Kependudukan Konsentrasi pada Penduduk Usia Produktif
  • Rivan A. Purwantono Tekankan Semangat Sinergi dan Kolaborasi dalam Rakernas Serikat Pekerja Jasa Raharja 
  • Sukseskan Moto GP Mandalika, Rivan Purwantono dan Kakorlantas Polri Cek Kesiapan Pengamanan Personel
  • Jasa Raharja Raih Penghargaan Transformasi Layanan Publik dalam Ajang Inovasi Membangun Negeri

Sarifudin Pemercepatan Pengelolaan Kehutanan Sosial Secara Terintegrasi dan Koprehensif Presiden Terbitkan PerpresSAMARINDA- Sejak tahun 2014, Pemerintah Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmennya dalam upaya membangun desa dan pertanian Melalui peluasan akses kepemilikan dan pengelolaan warga negara kepada tanah dan hutan. disampaikan Sarifudin Direktur Lembaga Penelitian dan Analisis Kebijakan Publik (LPAKP) (23/07/2023)

Menurutnya didasarkan literatur1) Menjelaskan munculnya ragam istilah dan Praktik keterlibatan Masyarakat dalam pengelolaan Hutan (perhutanan sosial). penulis melihat klasifikasi berdasarkan tingkat keterlibatan masyarakat dan tingkat pemanfaatan yang diperoleh dari pengelolaan hutan dan sumber dayanya. Misal sistem Tumpang sari dijalankan untuk memobilisasi penduduk untuk tujuan penanaman kembali kayu, selama menjaga hutan mereka diizinkan untuk bertani. Pertama kali tumpang sari diperkenalkan pada tahun 1920-an. Selanjutnya Program Buffer Zone di sekitar Hutan Cagar Alam dan Taman nasional. Kedua program secara berurutan dijalankan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pengawetan, dan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi lahan.

Lanjut Sarifudin Menjelaskan Berdasarkan Laporan Kinerja 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan2Hingga akhir Desember 2022 telah didistribusikan akses kelola perhutanan sosial seluas 5.318.376,20 Ha bagi 1.149.595 KK dengan jumlah 8.041 unit SK dalam bentuk Persetujuan/Izin Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan,dan Hutan Adat. terdiri: (1). Hutan Desa (HD) 2.144.084,21; (2). 2. Hutan Kemasyarakatan (HKM) 973.535,57; (3). 3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 352.697.08 (4). Kemitraan Kehutanan a. Kulin KK 572.203,54; b. IPHPS 34.789,79; (5). Hutan Adat (HA*) 1.241.066,01Pembentukan kelompok usaha perhutanan sosial pada tahun 2022 ini sebanyak 1.831 KUPS. Apabila diklasifikasikan dalam 5 regional yaitu Sumatera, Jawa Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Papua diketahui tertinggi pada regional Sulawesi.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Perencanaan Kehutanan meliputi kegiatan: (a). inventarisasi Hutan; (b). Pengukuhan Kawasan Hutan; (c). Penatagunaan Kawasan Hutan; (d). pembentukan wilayah pengelolaan Hutan; dan (e). penyusunan rencana Kehutanan.

PP 23/2021 pasal 203 Pemanfaatan Hutan melalui pengelolaan Perhutanan Sosial di dalam Kawasan Hutan Negara dan Hutan Adat dilaksanakan untuk mewujudkan kelestarian Hutan, kesejahteraan Masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada Masyarakat.

Lanjut Pasal 204 tertulis Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, terdiri atas: (a). Hutan Desa; (b). Hutan Kemasyarakatan; (c). Hutan Tanaman Rakyat (HTR); (d). Hutan Adat; dan (e). Kemitraan Kehutanan.

PP 23/2021 pasal 245 ayat (1) tertulis dalam rangka percepatan Perhutanan Sosial untuk kesejahteraan dan kelestarian Hutan perlu disusun perencanaan terpadu percepatan persetujuan distribusi akses legal, pendampingan, dan pengembangan usaha Perhutanan Sosial. Pada ayat (2) tertulis Perencanaan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Bahwa  untuk   melaksanakan   ketentuan   Pasal    245   ayat  (2) PP No. 23 Tahun 2021 (2 Februari 2021) tersebut setelah dua tahun kemudian baru diterbitkan  Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2023 Tentang Perencanaan Terpadu Percepatan  Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Regulasi baru ini (Perpres 28/2023 tertanggal 30 Mei 2023) diterbitkan dalam  rangka  mendukung  percepatan  pengelolaan perhutanan sosial secara terintegrasi dan  komprehensif antar kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan  pihak terkait.

Yang dimaksud Percepatan      Pengelolaan     Perhutanan      Sosial     dalam Perpres ini adalah kolaborasi    antara     kementerian/lembaga,      Pemerintah Daerah  provinsi  dan  Pemerintah  Daerah  kabupaten/kota dan  pihak terkait dalam mempercepat tercapainya target pengelolaan perhutanan  sosial  yang   dilaksanakan  secara holistik,  integratif,  tematik,  dan spasial.

Isi Perpres 28/2023

Perpres 28/2023 ini terdiri 8 (delapan) Bab dan 29 Pasal. Kedelapan Bab tersebut mencakup Bab I ketentuan umum (Pasal 1 dan 2), Bab II target dan strategi percepatan pengelolaan perhutanan sosial (Pasal 3 sampai 18), terdiri empat bagian yaitu Bagian Kesatu: Umum, Bagian Kedua: Percepatan Distribusi Akses  Legal, Bagian Ketiga :Percepatan Pengembangan Usaha Perhutanan  Sosial, Bagian Keempat: Percepatan Pendampingan. Bab III Kelompok kerja percepatan pengelolaan perhutanan sosial (Pasal 19 sampai 23) terdiri tiga bagian yaitu Bagian Kesatu : Umum, Bagian Kedua : Kelompok  Kerja Percepatan Pengelolaan Perhutanan  Sosial  Nasional, Bagian Ketiga: Kelompok  Kerja  Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial  Provinsi, Bab IV  sistem informasi perhutanan sosial (Pasal 24), Bab V pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (Pasal 25 dan 26) terdiri dua bagian yaitu Bagian Kesatu : Pemantauan dan Evaluasi, Bagian Kedua: Pelaporan, Bab VI pendanaan (Pasal 27), BAB VII ketentuan peralihan (Pasal 28), dan BAB VIII ketentuan penutup (Pasal 29).

Menjelaskan Perencanaan  Terpadu  Percepatan  Pengelolaan Perhutanan Sosial  dilaksanakan dalam periode tahun 2023  sampai dengan tahun 2030. Perencanaan  Terpadu  Percepatan  Pengelolaan Perhutanan Sosial meliputi: (a). distribusi akses legal; (b). pengembangan usaha Perhutanan Sosial; dan (c).Pendampingan.

Distribusi akses  legal berupa  kegiatan  pemberian  Persetujuan Pengelolaan Perhutanan  Sosial  dan  penetapan status hutan adat.

Pelaksanaan Percepatan Pengelolaan Perhutanan  Sosial sebagaimana dimaksud melibatkan pihak terkait paling sedikit: (a). Pelaku Usaha; (b). akademisi;  dan (c). organisasi masyarakat.

Target untuk  percepatan distribusi akses legal  Percepatan Pengelolaan  Perhutanan   Sosial  sebagaimana  dimaksud  dengan  diberikannya Persetujuan Pengelolaan Perhutanan   Sosial   untuk  areal  seluas  7.380.000 (tujuh juta tiga ratus  delapan puluh ribu) hektare sampai tahun 2030.

Dengan target untuk  percepatan distribusi akses legal  Percepatan Pengelolaan  Perhutanan   Sosial   sebagaimana  dimaksud  dilakukan melalui  strategi:  (a).penentuan skala prioritas pemberian akses legal Perhutanan  Sosial; (b). penanganan konflik terunial pada kawasan hutan;  dan (c). penguatan mekanisme dan  percepatan     pemberian Persetujuan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial.

Sedangkan target  untuk   percepatan  pengembangan  usaha Perhutanan Sosial dilakukan  melalui pembentukan Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) yang   sudah  memiliki unit usaha  dan  rencana  kelola Perhutanan  Sosial  sebanyak 17.000 (tujuh  belas ribu)  sampai tahun 2030.

Target  untuk   percepatan   pengembangan  usaha   Perhutanan Sosial  dilakukan  melalui strategi: (a). penguatan kapasitas kelembagaan KPS; (b). peningkatan kapasitas usaha; (c). percepatan pengembangan usaha tematik; (d). peningkatan produktivitas areal  Perhutanan Sosial; dan (e). percepatan pembentukan dan pengembangan Integrated Area Development  (IAD).

Strategi  percepatan pengembangan usaha  tematik sebagaimana perpres ini merupakan  pengembangan usaha  spesifik yang   dilaksanakan  melalui  koordinasi  dan/ atau integrasi  program  kegiatan  antar kementerian/lembaga, Pemerintah  Daerah  provinsi, dan  Pemerintah  Daerah kabupaten/kota dengan melibatkan pihak terkait.

Strategi peningkatan  produktivitas areal  Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dilaksanakan  melalui kegiatan: (a). wana tani,   wana temak,  wana mina,  wana tani   ternak dan  ekowisata;  dan (b). Rehabilitasi  Hutan  dan  Lahan ( RHL). Kegiatan dapat diberikan dukungan berupa penyiapan lahan, penanaman,  dan  pemeliharaan. RHL dilaksanakan   pada  areal  Persetujuan   Pengelolaan Perhutanan   Sosial  yang   diprioritaskan   pada  lahan   kritis dalam rangka peningkatan fungsi ekologis. RHL pada areal Persetujuan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial sebagaimana dimaksud  diberikan  dukungan dalam bentuk bantuan teknis berupa penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, supervisi penyusunan rencana tahunan    rehabilitasi   hutan,    dan     upah   kerja   melalui penetapan kelompok kerja RHL dalam KPS.

Percepatan     pembentukan      dan     pengembangan IAD sebagaimana  dilakukan pada   lokasi   yang   memiliki   potensi   usaha   dalam   satu lanskap   untuk meningkatkan   skala  ekonomi  dan   nilai tambah produk di dalam dan/ atau di luar kawasan hutan. Percepatan   pembentukan   dan   pengembangan   IAD sebagaimana dimaksud dilakukan secara terintegrasi dan kolaborasi antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan pihak terkait. Kegiatan  pengembangan IAD meliputi: (a). Perluasan distribusi Perhutanan  Sosial; (b). pengembangan usaha; (c). penyediaan sarana dan prasarana; (d). Pendampingan; (e). pelatihan;  dan/ atau (f). penelitian dan  pengembangan.

Target untuk  percepatan Pendampingan sebagaimana dimaksud adalah penambahan Pendamping sebanyak  23.400  (dua  puluh  tiga   ribu    empat  ratus)   sampai tahun 2030.

Percepatan  Pendampingan  Pengelolaan  Perhutanan   Sosial dilakukan melalui strategi: (a). kolaborasi antara kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan pihak terkait dalam pemenuhan kebutuhan  Pendampingan Perhutanan Sosial; (b). peningkatan  kapasitas   Pendampingan  Perhutanan Sosial; dan (c). optimalisasi pelaksanaan  Pendampingan.

Untuk   mendukung  pelaksanaan   Perencanaan  Terpadu Percepatan    Pengelolaan    Perhutanan     Sosial, kementerian/lembaga,  Pemerintah Daerah provinsi,  dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan: (a). penyelarasan  kebijakan  dan   peraturan  lintas  sektor dalam rangka  mendukung  pendayagunaan   potensi   Perhutanan Sosial   untuk   menyejahterakan  rakyat  dan  melestarikan hutan dan lingkungan; (b). pengintegrasian Perhutanan Sosial  ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional dan  daerah; (c). pengalokasian anggaran untuk Perhutanan  Sosial;  dan (d). penguatan kolaborasi  peran pihak terkait untuk mendorong Perhutanan Sosial.

Dalam   rangka    mendukung    pelaksanaan    Perencanaan Terpadu     Percepatan     Pengelolaan    Perhutanan      Sosial dibentuk   kelompok  kerja   Percepatan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial. Kelompok kerja sebagaimana dimaksud terdiri atas: (a). Kelompok  kerja Percepatan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial Nasional (Pokjanas PS);  dan (b). Kelompok  kerja  Percepatan Pengelolaan Perhutanan  Sosial provinsi (Pokja PPS provinsi).

Dalam   rangka  mendukung  Percepatan  Pengelolaan Perhutanan   Sosial,   bupati/wali   kota  dapat   membentuk Pokja PPS kabupaten/kota. Pembentukan Pokja PPS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud berkoordinasi dengan Pokja PPS provinsi.

Pokjanas PS sebagaimana dimaksud mempunyai tugas: (a). Melakukan percepatan, pengoordinasian, dan pengendalian   pelaksanaan Sosial tingkat nasional;  dan pengelolaan Perhutanan b. menerima laporan  hasil  pemantauan dan evaluasi  dari Pokja PPS provinsi.

Pokjanas   PS   dalam   melaksanakan   tugas   dapat   melibatkan badan   usaha    milik     negara,    badan   usaha   milik     swasta, akademisi,    tokoh     masyarakat,    dan/ atau   lembaga    swadaya masyarakat.

Pokja PPS  provinsi  sebagaimana dimaksud mempunyai tugas: (a). melakukan    percepatan,  pengoordinasian, dan pengendalian pelaksanaan  pengelolaan  Perhutanan Sosial tingkat provinsi; (b). Penyusun dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan Pokjanas PS; pemantauan    kepada dan gubernur dan (c). mengoordinasikan Pokja PPS kabupaten/kota. Pokja  PPS  provinsi  sebagaimana  dapat melibatkan perangkat daerah provinsi,  badan usaha milik  daerah,  badan usaha milik  swasta,  akademisi,  tokoh masyarakat,  dan/ atau lembaga  swadaya masyarakat. Ketentuan  lebih   lanjut  mengenai  Pokja PPS  provinsi  dan Pokja PPS kabupaten/kota diatur oleh  Menteri.

Pendanaan   pelaksanaan     strategi    dan    program   Percepatan Pengelolaan Perhutanan  Sosial  bersumber dari: (a). anggaran pendapatan dan  belanja negara; (b). anggaran pendapatan dan belanja daerah;  dan/ atau (c).sumber  lain  yang sah  dan  tidak  mengikat  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Analisis

Menurut Sarifudin untuk melaksanakan Perpres ini Pemerintah membentuk kelompok  kerja   Percepatan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial dimaksud terdiri atas: (a). Kelompok  kerja Percepatan  Pengelolaan Perhutanan  Sosial Nasional (Pokjanas PS);  dan (b). Kelompok  kerja  Percepatan Pengelolaan Perhutanan  Sosial provinsi (Pokja PPS provinsi). Dan bupati/wali   kota  dapat   membentuk Pokja PPS kabupaten/kota. Pembentukan Pokja PPS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud berkoordinasi dengan Pokja PPS provinsi.

Perpres ini menetapkan rencana aksi lintas kementerian dan pemerintah daerah dengan target capaian hingga tahun 2030. Percepatan  pengelolaan perhutanan sosial melalui perpres ini  dilakukan secara terintegrasi dan  komprehensif

Perpres ini menjadi acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan koordinasi, sinergi, sinkronisasi, dan harmonisasi dalam melaksanakan percepatan pengelolaan perhutanan sosial dengan melibatkan pihak terkait.

Perpres membentuk organisasi baru (kelompok kerja) dan menjadi dasar dalam merencanakan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah supaya pelaksanaan di lapangan segera berjalan.

"Mengingat masuk tahun politik dan diakhiri jabatan presiden dan sudah molor hingga dua tahun diharapkan Pemerintah Pusat dan Daerah diharap segera membentuk kelompok kerja tersebut dan menganggarkan pelaksanaannya Pada APBN maupun APBD." Tutup Sarifudin

*)Sarifudin / Sarifudin Asy Syahran Penulis merupakan Seorang yang tertarik dalam melakukan Analisis dan Kajian di Bidang Kebijakan baik Sosial maupun Politik termasuk Kehutanan Sosial. Saat ini juga sebagai pengajar di Prodi Pembangunan Sosial dan Prodi Administrasi Bisnis Fisip Unmul, Penggiat Media, aktif di organisasi Forum CSR, Kependudukan (KKI), serta Sebagai Direktur Lembaga Penelitian dan Analisis Kebijakan Publik (LPAKP). Merupakan Lembaga Penelitian dan Kajian di Bidang Sosial dan Politik berdomisili /berkantor di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.

Pustaka:

1) Luthfi, Ahmad Nashih dkk. Kajian Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Bogor: Sajogyo Institute.

2) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2023. Laporan Kinerja 2022.

NEXT

WARTA UPDATE

« »