Oleh : Akbar Lufi Zulfikar, S.E., M.E
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul
Perang Rusia-Ukraina dan kenaikan biaya energi menyebabkan kenaikan harga hampir di seluruh dunia, tapi inflasi di Turki bahkan sudah tinggi sebelum konflik pecah. Pada Juli menurut statistik resmi tingkat inflasi sudah mencapai 79,6 persen, hampir sepuluh kali lebih tinggi dari angka inflasi di Jerman pada bulan yang sama. Kelompok Riset Independen Inflasi Turki ENAG bahkan menyebutkan, angka sebenarnya masih jauh lebih tinggi lagi dari angka resmi yang diumumkan pemerintah. Mereka memperkirakan inflasi Turki mungkin mendekati kisaran 160 persen. Lembaga statistik resmi Turki TUIK sebagai reaksinya mengadukan ENAG ke kejaksaan, dengan tuduhan menyebarkan angka-angka yang sengaja dirancang untuk merusak reputasi TUIK. Perekonomian Turki memang mengalami masa-masa bergejolak jauh sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Ironisnya upaya pemerintah untuk meredam inflasi tidak menghasilkan apa-apa. Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan sudah menaikkan upah minimum secara drastis, tapi itu hanya mengakibatkan harga-harga naik lebih tinggi lagi.
Apa penyebab inflasi Turki?
Setelah perang pecah di Ukraina, harga-harga makin melonjak, terutama yang berkaitan dengan energi dan bahan bakar. Menurut TUIK, biaya transportasi, yang juga mencakup harga gas dan solar, naik 224 persen pada Mei 2022 dibandingkan Mei 2021. Karena Turki memenuhi hampir semua kebutuhan energinya dengan impor, negara itu sangat terpukul dengan kenaikan harga minyak dan gas di pasaran dunia. Bersamaan dengan itu, harga makanan dan minuman non-alkohol juga naik hampir dua kali lipat selama setahun terakhir. Inflasi pada harga makanan dan minuman mencapai 91,6 persen pada Mei 2022. Akibatnya, banyak warga di Turki mengalami ketakutan eksistensial yang sangat nyata. Ekonom Murat Birdal dari Universitas Istanbul, menyalahkan Bank Sentral Turki terkait inflasi tinggi ini. Sejumlah pakar keuangan juga mendukung tuduhan Birdal dan menuduh Bank Sentral tidak bertindak secara independen.
Untuk meredam inflasi yang melejit tinggi, seharusnya Bank Sentral menaikkan suku bunga, namun suku bunga tetap dibiarkan rendah karena pemerintahan Erdogan menghendakinya. Alhasil Murat Birdal pun memprediksi tingkat inflasi di Turki bisa mencapai angka tiga digit pada akhir tahun. Di lain pihak, Presiden Erdogan justru menegaskan bahwa inflasi adalah dampak dari suku bunga yang terlalu tinggi, suatu hal yang bertentangan dengan teori ekonomi yang selama ini jadi pegangan bank-bank sentral lainnya. Karena pimpinan Bank Sentral membantah argumen nya, Erdogan sampai beberapa kali mengganti pemimpin Bank Sentral dan akhirnya menempatkan kerabatnya di posisi penting itu. Erdogan juga mengganti kepala TUIK, yang menghitung tingkat inflasi tinggi pada awal tahun. Dalam sebuah rapat umum akhir pekan lalu, Erdogan kembali menyatakan tekad tidak akan menaikkan suku bunga, bahkan kemungkinan akan menurunkannya lagi.
Pulihnya perekonomian pun menjadi agenda terpenting bagi Erdogan, karena ia ingin terpilih lagi dalam pemilu 2023. Tapi situasinya sebenarnya mirip ketika dia mendirikan partainya AKP pada 2001. Saat itu, tingkat inflasi di Turki juga mencapai 70 persen. Setahun kemudian, AKP berhasil memenangkan mayoritas kursi di parlemen dalam pemilu. Para pemilih ketika itu berharap Erdogan bisa melakukan reformasi dan membawa perbaikan. AKP saat itu itu menguasai 365 dari seluruhnya 550 kursi di parlemen. Realita saat ini berkata lain, banyak pemilih yang kecewa dan berpaling dari Erdogan dan AKP. Meski demikian, situasi ini belum tentu bisa dimanfaatkan oleh kubu oposisi yang masih terpecah belah.
Penulis: Akbar Lufi Zulfikar, S.E., M.E (Peserta Latsar CPNS Angkatan XXVIII Puslatbang KDOD LAN)