Oleh: Fitria Dewi Kusuma, M.Si
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
Peserta Latsar CPNS Angkatan XXIX Puslatbang KDOD
Kasus deforestasi hutan di Indonesia masih terjadi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kasus deforestasi pada tahun 2019-2020 mencapai 115,46 ribu ha. Deforestasi disebabkan oleh kegiatan yang terencana (legal) dan tidak terencana (ilegal). Deforestasi yang terencana (legal) terjadi pada konsesi-konsesi yang sudah mendapatkan izin, contohnya pada hutan tanaman, perkebunan, dan pertambangan. Sedangkan Deforestasi yang bersifat ilegal diantaranya disebabkan oleh kegiatan pembalakan liar dan kebakaran hutan. Dampak dari deforestasi cukup signifikan, diantaranya adalah turunnya serapan karbon, hilangnya stok karbon hutan, dan hilangnya habitat flora dan fauna. Selain itu, hilangnya tutupan hutan akibat deforestasi akan berdampak pada berkurangnya sumber papan dan pangan manusia.
Fakta di lapangan telah menunjukan bahwa beberapa jenis flora dan fauna penghasil pangan telah berstatus langka dan hampir punah. Salah satu contohnya adalah jenis pohon penghasil buah, yaitu mangga kasturi (Mangifera casturi). Mangga kasturi merupakan mangga mungil yang memiliki bau harum dan rasanya manis. Mangga ini merupakan jenis endemik Kalimantan Selatan yang saat ini berdasarkan daftar merah The International Union for Conservation of Nature’s (IUCN) berstatus langka di habitat aslinya (extinct in the wild).
Tentunya kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali pada jenis pohon penghasil buah lainnya yang berasal dari hutan. Jangan sampai generasi penerus nantinya hanya bisa menikmati jenis buah-buahan impor dan hanya mendapatkan cerita bahwa hutan Indonesia merupakan penghasil buah lokal terbaik.
Di tengah isu ketahanan pangan saat ini, upaya pelestarian jenis-jenis pohon penghasil buah, khususnya jenis endemik, langka, dan hampir punah menjadi penting, terutama untuk menekan angka impor buah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor buah-buahan dan kacang-kacangan pada tahun 2021 senilai 170 juta dolar Amerika. Angka ini bisa ditekan lagi jika kita telah melestarikan jenis pohon penghasil buah yang potensial dan membudayakan konsusmsi buah lokal.
Beberapa langkah dalam upaya pelestarian jenis pohon penghasil buah perlu dilakukan, yang pertama adalah inventarisasi. Hasil dari kegiatan inventarisasi bisa digunakan dasar dalam strategi pelestarian. Kegiatan inventarisasi meliputi beberapa kajian, diantaranya adalah kajian potensi jenis buah lokal, identifikasi jenis, karakterisitik morfologi, sebaran habitat, tingkat kelangkaan, serta seleksi pohon induk.
Langkah kedua adalah dengan melakukan perbanyakan tanaman baik secara generatif atau vegetatif. Kegiatan perbanyakan tanaman biasanya diawali dengan kajian untuk mengetahui teknik perbanyakan yang efektif. Hal yang paling krusial lainnya yang perlu dilakukan sebelum perbanyakan tanaman adalah pemilihan pohon induk. Pohon induk ini merupakan pohon yang akan digunakan sebagai sumber benih untuk perbanyakan tanaman. Pohon yang akan dipilih menjadi pohon induk harus memiliki kriteria: 1) tinggi minimal sama dengan rata-rata tinggi pohon pembanding, 2) memiliki diameter batang minimal 10% lebih besar dengan pohon pembanding, 3) sudut cabang minimal 50°, 4) pohon sehat, 5) pohon produktif, dan 6) memiliki batang lurus minimal 25% dari tinggi total pohon.
Beberapa strategi dapat dilakukan dalam rangka pelestarian jenis pohon penghasil buah, diantaranya adalah konservasi in-situ, yaitu dengan melestarikan di habitat aslinya seperti di Taman Nasional dan Cagar Alam, serta konservasi ex-situ, yaitu dengan melestarikan di luar habitat aslinya. Masyarakat dapat berkontribusi dalam pelestarian jenis pohon penghasil buah endemik, langka, dan hampir punah secara ex-situ, yaitu dengan cara menanam di kebun atau pekarangan rumah seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Banjar dengan menanaman mangga kasturi di kebun. Harapannya dengan dilakukannya konservasi ex-situ jenis pohon penghasil buah tetap lestari, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan serat secara mandiri, dan tidak bergantung pada jenis buah-buahan impor.